Bagaimana Pengalaman Jurnalis Indonesia dalam Meliput Piala Dunia?

By , Rabu, 9 Juli 2014 | 12:45 WIB

Di laga final itu dipenuhi penonton warga Argentina dan negara Amerika Latin lainnya, seperti Meksiko dan Paraguay. Mereka kompak mendukung Argentina ketimbang mendukung Jerbar yang asal Eropa. 

Dan, saya ingat, Stadion Aztec yang berukuran cukup besar itu didesain secara menarik. Mirip kuil kuno Meksiko. Jadi ketika saya masuk ke dalamnya, saya mengalami perasan unik: kok stadion nggak kayak stadion, tapi kayak kuil pemujaan. 

Laga piala dunia lain yang mengesankan saya, ya, final Piala Dunia 2002 di Yokohama, yang menghadapkan Brasil lawan Jerman. Ini pertama kalinya mereka bertemu di ajang piala dunia. 

Pengalaman yang menyebalkan? Saya tidak mengalami langsung, tetapi saya ingat teman saya sesama wartawan yang kecopetan di atas kereta api saat meliput Piala Dunia 1990 di Italia. 

Sebetulnya sebelumnya sudah diperingatkan agar hati-hati. Mereka tertidur di atas kereta dari Roma ke Bari, dan copetnya beraksi. Saat balik ke Roma, mereka berusaha hati-hati, tetapi tetap juga kecurian, ketika mereka terlelap. 

Saya sendiri hampir kecopetan saat berada di Napoli. Di siang bolong, tiba-tiba saya disambar dari belakang, namun mereka gagal mengambil jam tangan saya.Tapi buat saya itu bukan masalah, karena sebelumnya sudah diperingatkan agar bersikap hati-hati. 

Dan, pengalaman yang tidak terlupakan? Karena harus meliput hampir satu bulan setengah, dan saya harus berpindah-pindah dari kota ke kota lainnya, maka saya harus terus bergerak. Setiap hari bergerak. Jadi, bisa dikatakan "hidup" saya itu di stadion, stasiun, media centre, dan hotel. Jika, misalnya, ketinggalan kereta, maka saya harus menginap di emperan stasiun. Ini sudah biasa, apalagi kalau tidak kebagian hotel. 

Sebaliknya, saya juga pernah memberi tumpangan kepada rekan wartawan lain yang tidak kebagian kamar hotel. Jadi umpelan-umpelan. Itu seru sekali. 

Sumohadi Marsis 

Wartawan senior, Pemred Tabloid olahraga Bola (1984-2004) 

Ketika meliput langsung Piala Dunia 1986 di Meksiko, saya mengirim berita dengan menggunakan mesin faksimile, selain teleks, karena saat itu belum dikenal teknologi email

Jadi, saya menulis beritanya di kertas dan kemudian saya faks ke Jakarta. Artinya ini kerja dua kali, karena teman saya di Jakarta mengetik ulang naskah yang saya kirim itu. Seingat saya, semua wartawan Indonesia menggunakan cara seperti itu. Tetapi ini tidak berlaku bagi beberapa wartawan, termasuk seorang jurnalis dari Singapura, yang sudah menggunakan semacam sistem komputer, saat itu.