Bagaimana Pengalaman Jurnalis Indonesia dalam Meliput Piala Dunia?

By , Rabu, 9 Juli 2014 | 12:45 WIB

Ketika saya meliput Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, saya teringat kehadiran para calo tiket pertandingan. Mereka kebanyakan orang-orang keturunan Amerika Latin atau Tengah. 

Yang menarik, awalnya, para calon itu menjual tiket dengan harga 120 Dollar AS di kompleks stadion. Ini harga kira-kira setengah jam sebelumkick off. Tapi begitu laga akan dimulai, mereka bakal bingung, dan itu artinya mereka harus menurunkan harga. 

Dan seterusnya, akan turun harganya ketika laga sudah dimulai. Saya, misalnya, sering membeli tiket seharga 70 Dollar AS. Tapi ada pengalaman saya yang mengharukan. Semula saya berpikir bahwa orang Amerika Serikat (AS) itu sombong, tidak suka dengan pendatang. 

Pikiran ini akhirnya harus saya koreksi, ketika saya ditolong warga AS setelah saya lupa jalur bus pulang yang harus saya kendarai. Mereka dengan baik hati mengantar saya hingga ke penginapan, dan bahkan ditraktir makan segala, padahal jaraknya lumayan jauh yaitu hampir satu jam. 

Bagaimana saya mengirim berita, saat itu? Tentu saya mengirim berita dengan menggunakan faks, yang harus saya tulis dulu di kertas. 

Cara lainnya, saya langsung menelepon ke Jakarta melalui telepon umum. Ini pernah saya lakukan ketika saya dan beberapa wartawan dapat mewawancarai mantan bintang sepak bola Prancis, Michel Platini. 

Saya menuju telepon umum, dan minta dihubungkan ke kantor Indosat. Lalu saya minta tolong disambungkan ke kantor redaksi Republika. Saya beritahu bahwa komunikasi saya melalui telepon ini akan dibayar oleh kantor saya.  

Di Piala Dunia 1994, tentu saja, saya menjadi saksi penting dari tragedi Maradona yang diberi sanksi karena menggunakan obat penguat. Juga kasus pembunuhan pemain belakang Kolomdia, Andres Escobar (1967-1994), gara-gara gol bunuh dirinya saat melawan AS. 

Lainnya? Saya menyaksikan antusiasme luar biasa warga AS terhadap olah raga sepak bola, yang ditandai hampir semua stadion dipenuhi penonton. 

Sebuah kenyataan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, mengingat sepak bola rekatif belum dikenal masyarakat negara adi daya itu. 

Namun demikian, yang paling berkesan, ketika saya berada di dalam stadion ketika Brasil melawan Belanda di perempat final. 

Inilah laga klasik yang ditunggu-tunggu. Mereka tidak pernah bertemu dalam 12 tahun. Keduanya bermain terbuka, saling serang. 

Saya masih ingat, saya berada dekat sekali dengan Romario, Bebeto dan Mazinho, ketika mereka merayakan gol Bebeto dengan "gaya menimang bayi". 

Adegan itu saya saksikan dalam jarak fisik yang begitu dekat, yaitu mungkin sekitar tiga meter. Kebetulan saya mendapat tiket tempat duduk yang dekat dengan lapangan hijau. 

Itu pengalaman yang paling membanggakan saya, karena wartawan lain tidak berada dalam posisi begitu dekat seperti saya. Saya, rasanya, dekat sekali dengan tiga bintang Brasil tersebut.