"Kuliah adalah masa ketika banyak masalah kesehatan mental muncul pada orang dewasa muda. Pada saat yang sama, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terintegrasi ke dalam jejaring sosial Anda sangat baik untuk kesehatan mental, karena dapat mengatasi masalah kesehatan mental dalam beberapa cara," terang Meyer.
Para mahasiswa—lewat aplikasi itu—juga ditanya pertanyaan tentang kondisinya, baik kesehatan maupun stres mereka, secara wawancara percakapan.
Ada juga laporan skala dari satu (tanpa stres) hingga 16 (stres ekstrem), yang juga diterapkan dengan pemilihan gambar seperti, kolam yang tenang hingga foto seseorang yang mencabut rambutnya. Penilaian foto oleh para mahasiswa bisa menunjukkan stres dari tanggapan psikologisnya.
Baca Juga: Mengeluh Terlalu Sibuk? Terlalu Luang Ternyata Tidak Lebih Baik
"Jika mahasiswa stres dan kemudian mereka menarik diri dari lingkungan sosial mereka sebagai tanggapan, mereka mungkin kehilangan kesempatan ini untuk menggunakan interaksi sosialnya untuk memikul masalah kesehatan mental mereka," ujar Meyer. "Mereka menarik diri dari orang-orang pada saat mereka mungkin sangat membutuhkan kehadirannya."
Para peneliti yakin bahwa data peserta yang dikumpulkan selama dua bulan ini bisa menjadi analisis canggih, untuk memeriksa pola interaksi sosial dan stres dalam waktu yang lama bagi masing-masing responden.
"Dengan memanfaatkan teknologi penginderaan seluler, penelitian kami adalah yang pertama untuk menguji hubungan temporal antara stres dan sosialisasi," kata rekan penulis makalah Alex daSilva. Cara ini berbeda dari penelitian lain yang biasanya mengajak responden untuk ke laboratorium, yang menyebabkan perbedaan kondisi.
"Temuan kami menunjukkan bahwa tingkat stres yang lebih tinggi pada satu hari memprediksi penurunan interaksi sosial pada hari berikutnya sambil memperhitungkan tingkat aktivitas, tidur, dan waktu yang dihabiskan di rumah," tambahnya.
Hasilnya, mahasiswa yang merujuk pada stres, menghabiskan banyak waktu di rumah mengalami penurunan tingkat aktivitas dan interkasi sosial pada keesokan harinya. Begitu pula sebaliknya, mereka yang tidak atau kurang stres akan lebih sedikit waktu di rumah, dan berinteraksi dengan banyak orang.
Kenyataan penghindaran sosial berkurang di keesokan harinya hanya dapat ditemukan pada yang stes, tidak pada sebaliknya, para peneliti menyimpulkan.
Baca Juga: Berpelukan, 'Magic Touch' Pereda Stres yang Tabu di Indonesia