Studi Baru: Mahasiswa Menghindari Interaksi Sosial Saat Sedang Stres

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 7 Oktober 2021 | 17:00 WIB
Mahasiswa kedokteran dari Universitas Islam saat istirahat di bangsal bersalin di rumah sakit Al-Shi. (Monique Jaques)

 

Nationalgeographic.co.id—Jangan kaget bila sahabat terdekat Anda pada suatu waktu enggan berinteraksi bersama. Kemungkinan besar, dia sedang mengalami tingkat stres yang sangat tinggi.

Hal itu diamati oleh para peneliti di jurnal Emotion berjudul Daily perceived stress predicts less next day social interaction: Evidence from a naturalistic mobile sensing study, yang terbit Senin (04/10/2021).

"Pada penelitian kami, kami ingin menyelidiki bagaimana perasaan stres memengaruhi jumlah yang kami sosialisasikan dengan orang lain," kata penulis senior makalah Meghan Meyer, seorang asisten profesor psikologi dan otak di Dartmouth College. 

 

 

"Temuan kami menunjukkan bahwa orang mengalami lebih banyak stres pada satu hari, [kemudian] akan kurang bersosialisasi dengan orang lain di hari esoknya. Efek ini dapat bertahan dua hari kemudian setelah mengalami hari yang penuh tekanan," ujarnya dikutip dari Eurekalert.

Meski demikian, masih sulit bagi para ilmuwan psikologi untuk menentukan benarkah manusia menghindari sosial sebagai akibat dari stres. Karena masih belum ada alat ukur yang efektif bagaimana stres memengaruhi interaksi sosial di dunia nyata.

Meyer juga menjelaskan bahwa penelitian seperti ini pernah dibuktikan dengan hewan pengerat. Hasilnya, hewan lebih memilih tidak bersosialisasi dengan rekan-rekannya jika sedang stres sehari sebelumnya.

Baca Juga: Peran Mahasiswa Al-Azhar dan Semangat Pengukuhan Kedaulatan Indonesia

Mahasiswa Gaza ini bekerja di terowongan, mengangkut barang demi uang untuk biaya kuliah. (Paolo Pellegrin/National Geographic )

 

Sementara penelitian terkait topik ini pada manusia lebih sering mengandalkan laporan diri tentang perilaku responden. Tentu cara ini cenderung bias atau subjektif, tergantung penilaian mereka yang tidak mengetahui standar stres yang dimaksud peneliti.

Maka penelitian ini mengandalkan data penginderaan ponsel yang diperoleh lewat aplikasi StudentLife yang dikembangkan Andrew Campbell rekan penulis penelitian.

Aplikasi itu mengumpulkan beberapa hal pribadi responden seperti pola tidur, gerakan, dan waktu yang dihabiskan di rumah pada 99 mahasiswa S1 di Dartmouth College yang setuju diteliti. Termasuk percakapan melalui mikrofon ponsel, tetapi tidak direkam karena alasan etis.

Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?

"Kuliah adalah masa ketika banyak masalah kesehatan mental muncul pada orang dewasa muda. Pada saat yang sama, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terintegrasi ke dalam jejaring sosial Anda sangat baik untuk kesehatan mental, karena dapat mengatasi masalah kesehatan mental dalam beberapa cara," terang Meyer.

Para mahasiswa—lewat aplikasi itu—juga ditanya pertanyaan tentang kondisinya, baik kesehatan maupun stres mereka, secara wawancara percakapan.

Ada juga laporan skala dari satu (tanpa stres) hingga 16 (stres ekstrem), yang juga diterapkan dengan pemilihan gambar seperti, kolam yang tenang hingga foto seseorang yang mencabut rambutnya. Penilaian foto oleh para mahasiswa bisa menunjukkan stres dari tanggapan psikologisnya.

Baca Juga: Mengeluh Terlalu Sibuk? Terlalu Luang Ternyata Tidak Lebih Baik

Kuliah adalah masa bagi banyak dewasa muda belajar dan mendapatkan masalah yang kompleks, yang dapat menyebabkan stres. (Luca Locatelli/National Geographic)

"Jika mahasiswa stres dan kemudian mereka menarik diri dari lingkungan sosial mereka sebagai tanggapan, mereka mungkin kehilangan kesempatan ini untuk menggunakan interaksi sosialnya untuk memikul masalah kesehatan mental mereka," ujar Meyer. "Mereka menarik diri dari orang-orang pada saat mereka mungkin sangat membutuhkan kehadirannya."

Para peneliti yakin bahwa data peserta yang dikumpulkan selama dua bulan ini bisa menjadi analisis canggih, untuk memeriksa pola interaksi sosial dan stres dalam waktu yang lama bagi masing-masing responden.

"Dengan memanfaatkan teknologi penginderaan seluler, penelitian kami adalah yang pertama untuk menguji hubungan temporal antara stres dan sosialisasi," kata rekan penulis makalah Alex daSilva. Cara ini berbeda dari penelitian lain yang biasanya mengajak responden untuk ke laboratorium, yang menyebabkan perbedaan kondisi.

Mahasiswa sebagai dewasa muda akan menghindari interaksi sosial bila sedang mengalami stres. (Lutfi Fauziah)

"Temuan kami menunjukkan bahwa tingkat stres yang lebih tinggi pada satu hari memprediksi penurunan interaksi sosial pada hari berikutnya sambil memperhitungkan tingkat aktivitas, tidur, dan waktu yang dihabiskan di rumah," tambahnya.

Hasilnya, mahasiswa yang merujuk pada stres, menghabiskan banyak waktu di rumah mengalami penurunan tingkat aktivitas dan interkasi sosial pada keesokan harinya. Begitu pula sebaliknya, mereka yang tidak atau kurang stres akan lebih sedikit waktu di rumah, dan berinteraksi dengan banyak orang.

Kenyataan penghindaran sosial berkurang di keesokan harinya hanya dapat ditemukan pada yang stes, tidak pada sebaliknya, para peneliti menyimpulkan.

Baca Juga: Berpelukan, 'Magic Touch' Pereda Stres yang Tabu di Indonesia