Di titik inilah, menurut Ignatius, warga peranakan Tionghoa merasa "didiskriminasikan atau dianaktirikan".
Sehingga, menurut eks pemain timnas Indonesia, Tan Lian Houw, yang dikutip Bayu Aji, berujar: "Kami banyak didiskriminasi. Ketika kami bermain kurang baik, kami diteriaki 'Cina, Cina', dan itu sangat menyakitkan".
'Tidak ada pemain bola yang kaya'
Namun demikian, apabila dikatakan "teori" kebijakan sentimen rasial ala Orde Baru dianggap sebagai satu-satunya faktor, tentu tidaklah dapat menerangkan kenyataan yang lebih rumit.
Kasus perkelahian antar pemain yang digambarkan kerap terjadi di persepakbolaan nasional pada tahun 70-an dan 80-an disebut pula sebagai penyebab warga Tionghoa enggan "bermain sepak bola".
"Sehingga mereka enggan dan merasa terancam di situ," kata Bayu Aji.
Pendapat ini juga diamini Sumohadi Marsis. Pasalnya, "Yang sering menjadi korban (perkelahian) adalah warga Tionghoa. Mereka yang pinter-pinter ini jadi sasaran amukan pemain yang kurang mampu. Akhirnya kalangan Tionghoa males main bola".
Tidak sampai di situ. Fakta sepak bola tidak dapat dijadikan sandaran hidup dan masa depan adalah faktor lain yang tidak kalah penting. "Tidak ada pemain sepak bola menjadi kaya karena main bola," kata Sumohadi.
Itulah sebabnya, mereka lebih memilih berdagang atau meneruskan pendidikan yang dianggap lebih menjanjikan ketimbang meniti karier di dunia sepak bola.
"Mereka kembali ke dunia perekonomian, sehingga gairah untuk sepakbola semakin hari semakin hilang," kali ini kata Bayu Aji, yang saat ini tengah menulis buku tentang kaitan sepak bola nasional dan kebijakan pemerintah Orde Lama.
Dari kenyataan inilah, menurut Ignatius: "Mereka tidak mendidik anaknya menjadi pemain atlit, khususnya pemain sepakbola".
Era reformasi
Ketika rezim Suharto yang otoriter berhasil dipaksa turun dari kekuasaannya, warga Indonesia peranakan Tionghoa seperti menemukan kembali jati dirinya yang "hilang".
Segala aktivitas budaya yang "diharamkan" di masa Orde Baru kembali dihidupkan, dan mereka pun tidak lagi takut untuk terjun ke politik serta mengekspresikan identitasnya.
Dan di tengah keterpurukan prestasi sepak bola nasional, imajinasi atas kejayaan timnas di era 50-an, yang ditaburi pemain top peranakan Tionghoa, seperti menemukan momentumnya.
Sejumlah buku dan laporan jurnalistik pun diterbitkan beramai-ramai untuk "menghidupkan" kembali kehebatan Tan Liong Houw dan kawan-kawan menantang Uni Soviet di perempat final Olimpiade Melbourne 1956.
Ujung-ujungnya, semua itu bermuara kepada sebuah harapan agar warga Indonesia peranakan Tionghoa itu kembali "ke lapangan hijau".
"Ketika hak-hak sipil dan sosial orang Tionghoa sudah diakui, maka ini sebenarnya ini dapat dijadikan semangat mereka untuk kembali ke dunia sepakbola, tidak hanya bulutangkis," kata Bayu Aji.
Walaupun terlalu berlebihan jika mengharap kehadiran mereka dapat mewarnai persepakbolaan nasional dalam waktu dekat, belakangan mulai bermunculan beberapa pemain muda peranakan Tionghoa.
Salah-satunya adalah Sutanto Tan, ujung tombak klub Persib U-19, asal Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
"Saya ingin mewujudkan mimpi bermain di tim nasional Indonesia," kata Sutanto Tan, seperti dikutip situs resmi Persib Bandung.
Impian Sutanto itu, tentu saja, menjadi impian semua rakyat Indonesia, yang merindukan timnas sepakbolanya berprestasi seperti ketika Tan Liang Houw dan kawan-kawan menembus perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.