Ketika sepak bola menjadi alat untuk menumbuhkan nasionalisme, warga Tionghoa berperan penting dalam perjalanan sejarah sepak bola Indonesia. Namun mengapa warga Tionghoa kini seperti terpinggirkan dari sepak bola Indonesia?
Sepak bola, bukan rahasia lagi, bukan sekedar urusan menendang bola atau berebut tropi. Lebih dari itu: sepak bola juga alat untuk mengekspresikan identitas etnis atau bangsa yang sering kali bersinggungan dengan politik.
Kehadiran peranakan Tionghoa dalam sejarah persepakbolaan Indonesia, sejak awal abad 20, adalah bukti yang tidak bisa dibantah.
"Peranan orang-orang Tionghoa dalam sejarah sepak bola di Indonesia sangat panjang," kata Bayu Aji, penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak bola (2010), kepada BBC Indonesia.
Dibekali modal ekonomi dan pendidikan, menurut Bayu, mereka menggunakan sepak bola sebagai alat untuk menunjukkan bahwa mereka tidak kalah superior ketimbang orang-orang Belanda.
Kesadaran itu kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk organisasi atau perkumpulan olahraga, termasuk sepak bola.
"Bahkan kaum Tionghoa saat itu memiliki kurikulum olahraga sendiri, karena mereka menyadari olahraga dapat membentuk kesadaran," ungkap Bayu.
Di Surabaya, misalnya, sejak tahun 1915, sudah berdiri klub sepak bola yang didirikan warga peranakan Tionghoa. Di Jakarta, Semarang, juga berdiri perkumpulan yang sama.
Semenjak saat itulah, kiprah klub sepak bola Tionghoa mampu merajai jagad sepak bola Hindia Belanda, termasuk mengungguli tim sepak bola yang didirikan orang Belanda dan pribumi.
Puncaknya, menurut Bayu, adalah kehadiran beberapa pemain Tionghoa dalam tim Hindia Belanda yang berlaga di Piala Dunia 1938 di Prancis.
"Ada nama-nama seperti Tan "Bing" Mo Heng, Tan Hong Djien, Tan See Handi dalam tim itu," kata Bayu Aji.
'Jangan tanyakan nasionalisme saya'
"Jangan tanyakan masalah nasionalisme orang-orang Tionghoa. Kami siap mati di lapangan demi membela Indonesia melalui sepak bola."
Kalimat terkenal ini dilontarkan salah-satu legenda sepakbola Indonesia, Tan Liong Houw alias Latief Harris Tanoto, kelahiran 1930, yang berperan besar mengantar timnas Indonesia ke perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.
Pernyataan Tan Liong Houw itu, menyikapi persepsi sebagian masyarakat Indonesia saat itu yang dianggap merendahkan warga Tionghoa. "Mereka tidak mau dikatakan tidak nasionalis, seperti anggapan umum saat itu," kata Bayu.
Namun, Harris Tanoto tak berhenti sebatas melontarkan jargon. Dia kemudian terbukti membuktikan ucapannya itu di lapangan hijau.
"Mereka bermain sepenuh hati," kata Sumohadi Marsis, seraya mencontohkan kegigihan Harris Tanoto ketika membela Indonesia melawan Uni Soviet di laga Olimpiade 1956.
"Begitu selesai pertandingan kaos kakinya robek-robek, karena begitu hebatnya menahan gempuran pemain Soviet supaya tidak melewati garis tengah permainan," katanya, mengenang.
Di Olimpiade Melbourne 1956, pemain yang dijuluki "Macan Betawi" ini, bersama rekan-rekannya seperti Ramang, Maulwi Saelan, Kwee Kiat Sek, Thio Him Tjiang, dan Beng Ing Hien, kala itu mampu menahan seri Uni Soviet 0-0, sebelum akhirnya kalah 0-4 dalam laga ulangan.
Kejayaan hingga kemunduran
Seperti bintang sepak bola saat ini yang dielu-elukan penggemarnya, Tan Liong Houw dan kawan-kawan adalah pemain idola masyarakat, kala itu.
"Wah, kalau mereka tampil di Stadion Ikada (kini Monumen Nasional, Jakarta), penontonnya datang dari berbagai lapisan," ungkap Ignatius Sunito, wartawan senior bidang olah raga, yang saat itu masih di bangku SMA dan rajin menonton mereka di Ikada.
Di tahun 1950-an, masih menurut Ignatius, bukan pemandangan "aneh" warga peranakan Tionghoa terlihat di lapangan hijau.
"Mereka membaur betul sebagai bangsa Indonesia, tidak ada perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Cair sekali," kata Ignatius, mantan wartawan olah raga Kompas dan Pemimpin redaksi Tabloid Bola, yang kini berusia 70 tahun.
Kisah kejayaan timnas Indonesia, yang ditandai kehadiran beberapa pemain peranakan Tionghoa, bertahan sampai 10 tahun kemudian, sebelum akhirnya berakhir tragis di Asian Games 1962.
Kasus suap yang menyeret sejumlah pemain timnas dan kekalahan memalukan di babak penyisihan, memaksa Tan Liong Houw dan kawan-kawan mundur dari timnas, kata wartawan olah raga senior, Sumohadi Marsis.
"Mereke sangat kecewa dan mereka mengundurkan diri," kata Sumohadi.
Dan, "Sejak tahun 1962, tidak ada lagi pemain Tionghoa yang berperan besar untuk timnas Indonesia," tambahnya.
Memang, ada sejumlah pemain Tionghoa yang ikut mewarnai timnas Indonesia di tahun 70-dan dan 80-an, namun menurut Sumohadi, "tetapi sudah tidak fenomenal lagi."
"Mereka (peranakan Tionghoa) tidak lagi menjadi kekuatan pilar. Mereka hanya pemain-pemain yang komplementer sifatnya," tambah Sumohadi, yang sejak tahun 1970-an menjadi wartawan di Harian Kompas sebelum membesarkan Tabloid olah raga Bola sejak 1984.
Kebijakan sentimen rasial
Runtuhnya rezim Sukarno, yang ditandai pembunuhan massal orang-orang yang dituduh Komunis di tahun 1960-an, disebut sebagai faktor penting di balik mulai berkurangnya keikutsertaaan warga Indonesia peranakan Tionghoa di dunia sepak bola nasional.
"Habis Gestapu, sikap Pemerintah Indonesia terhadap Tionghoa terlalu menekan ya, sehingga mereka ada keengganan (terjun ke aktivitas sepak bola)," kata Ignatius Sunito, wartawan senior.
Keintiman hubungan Sukarno dengan pemimpin Tiongkok, Mao Tse Tung diakhiri oleh rezim Suharto, karena menganggap negara itu terlibat upaya kudeta perwira menengah militer yang pro Komunis.
"Mungkin karena Partai Komunis Indonesia, yang dituduh Orde Baru berada di balik peristiwa 1965 itu, diidentikkan dengan etnis itu, sehingga mereka takut melakukan aktivitas massal di ruang terbuka," kata mendiang Iswadi Idris, mantan pesepakbola nasional era 1970-an, suatu saat.
Seperti diketahui, Suharto kemudian melahirkan berbagai "kebijakan" sentimen dan diskriminasi rasial yang disebut sebagai upaya "memotong" akar hubungan budaya warga Tionghoa dengan masa lalunya.
"Ada kebijakan asimilasi yang menurut saya memaksa orang Tionghoa menjadi Indonesia," kata Bayu Aji, yang telah melakukan penelitian tentang peran masyarakat Tionghoa dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Di titik inilah, menurut Ignatius, warga peranakan Tionghoa merasa "didiskriminasikan atau dianaktirikan".
Sehingga, menurut eks pemain timnas Indonesia, Tan Lian Houw, yang dikutip Bayu Aji, berujar: "Kami banyak didiskriminasi. Ketika kami bermain kurang baik, kami diteriaki 'Cina, Cina', dan itu sangat menyakitkan".
'Tidak ada pemain bola yang kaya'
Namun demikian, apabila dikatakan "teori" kebijakan sentimen rasial ala Orde Baru dianggap sebagai satu-satunya faktor, tentu tidaklah dapat menerangkan kenyataan yang lebih rumit.
Kasus perkelahian antar pemain yang digambarkan kerap terjadi di persepakbolaan nasional pada tahun 70-an dan 80-an disebut pula sebagai penyebab warga Tionghoa enggan "bermain sepak bola".
"Sehingga mereka enggan dan merasa terancam di situ," kata Bayu Aji.
Pendapat ini juga diamini Sumohadi Marsis. Pasalnya, "Yang sering menjadi korban (perkelahian) adalah warga Tionghoa. Mereka yang pinter-pinter ini jadi sasaran amukan pemain yang kurang mampu. Akhirnya kalangan Tionghoa males main bola".
Tidak sampai di situ. Fakta sepak bola tidak dapat dijadikan sandaran hidup dan masa depan adalah faktor lain yang tidak kalah penting. "Tidak ada pemain sepak bola menjadi kaya karena main bola," kata Sumohadi.
Itulah sebabnya, mereka lebih memilih berdagang atau meneruskan pendidikan yang dianggap lebih menjanjikan ketimbang meniti karier di dunia sepak bola.
"Mereka kembali ke dunia perekonomian, sehingga gairah untuk sepakbola semakin hari semakin hilang," kali ini kata Bayu Aji, yang saat ini tengah menulis buku tentang kaitan sepak bola nasional dan kebijakan pemerintah Orde Lama.
Dari kenyataan inilah, menurut Ignatius: "Mereka tidak mendidik anaknya menjadi pemain atlit, khususnya pemain sepakbola".
Era reformasi
Ketika rezim Suharto yang otoriter berhasil dipaksa turun dari kekuasaannya, warga Indonesia peranakan Tionghoa seperti menemukan kembali jati dirinya yang "hilang".
Segala aktivitas budaya yang "diharamkan" di masa Orde Baru kembali dihidupkan, dan mereka pun tidak lagi takut untuk terjun ke politik serta mengekspresikan identitasnya.
Dan di tengah keterpurukan prestasi sepak bola nasional, imajinasi atas kejayaan timnas di era 50-an, yang ditaburi pemain top peranakan Tionghoa, seperti menemukan momentumnya.
Sejumlah buku dan laporan jurnalistik pun diterbitkan beramai-ramai untuk "menghidupkan" kembali kehebatan Tan Liong Houw dan kawan-kawan menantang Uni Soviet di perempat final Olimpiade Melbourne 1956.
Ujung-ujungnya, semua itu bermuara kepada sebuah harapan agar warga Indonesia peranakan Tionghoa itu kembali "ke lapangan hijau".
"Ketika hak-hak sipil dan sosial orang Tionghoa sudah diakui, maka ini sebenarnya ini dapat dijadikan semangat mereka untuk kembali ke dunia sepakbola, tidak hanya bulutangkis," kata Bayu Aji.
Walaupun terlalu berlebihan jika mengharap kehadiran mereka dapat mewarnai persepakbolaan nasional dalam waktu dekat, belakangan mulai bermunculan beberapa pemain muda peranakan Tionghoa.
Salah-satunya adalah Sutanto Tan, ujung tombak klub Persib U-19, asal Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
"Saya ingin mewujudkan mimpi bermain di tim nasional Indonesia," kata Sutanto Tan, seperti dikutip situs resmi Persib Bandung.
Impian Sutanto itu, tentu saja, menjadi impian semua rakyat Indonesia, yang merindukan timnas sepakbolanya berprestasi seperti ketika Tan Liang Houw dan kawan-kawan menembus perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.