Mahasiswa Anak Pertama dalam Keluarga Rentan Kena Imposter Syndrome

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 16 Oktober 2021 | 15:00 WIB
Anak pertama dalam keluarga, ketika menjadi mahasiswa akan lebih rentan terkena imposter syndrome. Mereka lebih pesimis melihat dunia yang kompetitif. (Luca Locatelli/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Beberapa tahun belakangan, mahasiswa terdorong untuk mengejar bidang yang berunsur STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika). Pengejaran bidang ini mengakibatkan sifat kompetitif, lantaran mendapat dorongan akibat latar belakang masyarakat, seperti gender, ras dan etnis, kelas sosial.

Hal itu semua dilakukan demi mengembangkan jenjang karir, dengan menganggap materi yang membutuhkan nalar ini membawa janji gemilang untuk masa depan mahasiswa.

Sebuah studi tahun 2019, ternyata sifat kompetitif dari bidang STEM memiliki efek menurunkan kepercayaan diri pada mahasiswa tertentu secara drastis. Studi itu dipublikasikan di jurnal Social Psychological and Personality Science, berjudul Feeling Like an Imposter: The Effect of Perceived Classroom Competition on the Daily Psychological Experiences of First-Generation College Students.

Para peneliti membuktikan, anak pertama dari keluarga yang menjadi mahasiswa saat berkuliah, lebih rentan terkena imposter syndrome karena budaya kompetitif. Sindrom ini adalah perasaan akan tidak memiliki keterampilan atau kecerdasan untuk melanjutkan studi mereka.

Baca Juga: Studi Baru: Mahasiswa Menghindari Interaksi Sosial Saat Sedang Stres

Dalam lingkungan seperti itu, para peneliti dalam makalahnya, mahasiswa lebih cenderung membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Walau terkadang membandingkan bisa berdampak baik untuk memotivasi, tetapi seringkali justru merugikan diri sendiri. Hal itu sudah pernah diungkap dalam berbagai penelitian terdahulu sejak 1990 hingga 2018.

Mahasiswa anak pertama dari sebuah keluarga merasa rekan-rekannya adalah musuh, bukan sebagai rekan kerja atau kawan, ketika melihat keberhasilan dan kegagalan orang lain untuk menilai dirinya sendiri.

Temuan ini dilakukan dalam survei penelitian tersebut pada mahasiswa pertama dalam suatu keluarga yang berkuliah di beberapa perguruan tinggi. Ada 818 responden yang merupakan mahasiswa baru tahun kedua yang terdaftar di mata kuliah berunsur STEM di kampus besar Amerika Serikat.

Mereka diminta untuk mengisi survei, satu kali pada awal semester dan usainya masa perkuliahan. Mahasiswa diminta mengukur persepsi kompetisi pada kelas yang mereka ikuti, seperti "profesor sepertinya mengadu siswa satu sama lain secara kompetitif di kelas ini" dalam skala satu sampai tujuh.

Baca Juga: Peran Mahasiswa Al-Azhar dan Semangat Pengukuhan Kedaulatan Indonesia

Bidang STEM terlalu kompetitif untuk mahasiswa anak pertama. Lingkungan seperti ini membuatnya pesimis dan terkena imposter syndrome demi mengejar akademik mereka. (Nina Robinson )

Data demografis juga diambil, termasuk benarkah anak itu merupakan anak pertama dari suatu keluarga. Jika ada mahasiswa yang bukan, akan tetap menjadi pembanding kondisi.