Mahasiswa Anak Pertama dalam Keluarga Rentan Kena Imposter Syndrome

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 16 Oktober 2021 | 15:00 WIB
Anak pertama dalam keluarga, ketika menjadi mahasiswa akan lebih rentan terkena imposter syndrome. Mereka lebih pesimis melihat dunia yang kompetitif. (Luca Locatelli/National Geographic)

Enam minggu memasuki semester, siswa dikirim survei lebih lanjut untuk diisi sertiap hari. Salah satu pertanyaannya adalah apakah mereka menghadiri kelas atau tidak. Bagi yang menghadiri, diminta untuk menentukan perasaan palsu yang ada pada mereka, lewat pertanyaan survei seperti "di kelas, saya merasa seperti orang yang mungkin tahu kalau saya tidak mampu berpikir seperti yang lainnya" dengan sekala satu sampai enam.

Para peneliti juga menanyai seperti seberapa banyak menghadiri kelas, berpikir untuk berhenti kuliah, dan bagaimana nilai mereka.

Hasilnya, mahasiswa yang merasa STEM adalah lingkungan yang kompetitif lebih mungkin membuat mereka merasa dirinya sebagai penipu rasa dan tidak mampu memenuhi tuntutan mata kuliah mereka. Hal ini signifikan dibandingkan dengan mahasiswa dari keluarga yang pernah memiliki kakak untuk berkuliah lebih awal.

Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

"Penekanan pada kompetisi antarpribadi ini dapat sangat merugikan bagi mahasiswa anak pertama keluarga (FG), kelompok yang kurang terwakili di bidang STEM yang lebih menghargai komunalitas dan kolaborasi dibandingkan dengan rekan mereka yang bukan anak pertama (CG)," tulis para peneliti dalam makalah.

Para peneliti berpendapat, sifat persaingan ini bisa merusak. Mahasiswa generasi pertama dalam keluarga mereka dibesarkan dengan nilai-nilai komunal, mengandalkan orang lain daripada melihat mereka sebagai saingan.

Semua berubah ketika harus berada di lingkungan STEM yang kompetitif dan individualistis, dampak ini sangat merugikan mereka. Imposter syndrome pun telah memicu perasaan mereka.

"Ketika ditanya alasan mereka kuliah, mahasiswa FG lebih cenderung menyebutkan motivasi komunal (misalnya, menggunakan gelar akademis mereka untuk kelak membantu orang lain, membanggakan keluarga dan komunitas mereka)," terang para peneliti yang dipimpin Elizabeth Canning dari Department of Psychology, Washington State University, Pullman.

Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?

"Sedangkan siswa CG lebih cenderung membuat rangkaian alasan yang lebih mementingkan diri sendiri (misalnya, eksplorasi diri, menjadi pemikir independen)."

"Dengan demikian, persaingan dalam bidang STEm dapat memaksa mahasiswa untuk mengadopsi suasana, bertujuan melayani diri sendiri dan memperkuat persepsi umum bahwa bidang STEM cenderung tidak melayani motif membantu dan tujuan komunal yang mahasiswa FG sering inginkan."

Temuan lain dalam penelitian, ternyata identitas mahasiswa perempuan dan orang kulit berwarna  juga lebih rentan terkena imposter syndrome. Misalnya, perasaan itu muncul karena dipicu bagaimana lingkungan sekitarnya harus mengeksplorasi identitas mereka berinteraksi dengan orang lain.

Terkait temuan ini, para peneliti menyarankan untuk menciptakan lingkungan pelajaran—khususnya bidang STEM-—yang ramah dan mendukung bagi semua orang, apa pun latar belakang mereka. Cara ini bisa membuat beragam dan inklusif, untuk mengembangkan strategi melawan ketidaksetaraan akademis.

Baca Juga: Polemik Sci-Hub: Penolong atau Penghambat Perkembangan Sains Dunia?