Gunung Terlalu Ramai, Bagaimana Caranya Mendaki dengan Tenang?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 17 Oktober 2021 | 15:00 WIB
Lokasi pendakian dan destinasi wisata kerap ramai, dan rentan merusak lingkungan. Bagaimana caranya berpergian dengan tenang sambil menghargai alam? (Freepik)

Nationalgeographic.co.id - Berpelesiran di tempat terbuka memang kaya akan manfaat untuk kekuatan mental dan fisik kita. Hal itu membuat kunjungan tempat wisata alam mengalami peningkatan.

Secara ekonomi, memang makin banyak orang berkunjung bisa memberi pendapatan bagi suatu daerah yang memiliki destinasi wisata. Sayangnya, jika kebanyakan penduduk bisa memperburuk tempat wisata yang semestinya bisa dinikmati elok dan asri, seperti kemacetan, dan keramaian yang merusak ketenangan.

Untungnya, kita memiliki 55 taman nasional yang tersebar di seluruh pulau. Meski demikian, jaraknya yang sangat jauh, batasan akses oleh transportasi tertentu, harga menuju destinasi, dan kepadatan penduduk yang terfokus di Pulau Jawa, membuat destinasi wisata alam mengalami ketidaksetaraan pengunjung. 

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bahkan dapat dikunjungi 251.222 orang pada 2018, berdasarkan laporan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Angka itu terus bertambah seiring waktu, dengan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara.

Sementara Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada 2019, melaporkan kunjungan yang lebih besar lagi, yakni kira-kira 690.831 orang. Melansir kabar dari Media Indonesia, tercatat ada 1.416 jeep yang beroperasi dan ratusan motor datang berkunjung di kawsan Bromo, Akibatnya, taman nasional ini cenderung mengandung karbon monoksida karena pekat asap.

Baca Juga: Asal-Usul Taman Nasional di Indonesia, Berawal dari Zaman Sriwijaya

Polusi tak sampai situ saja. Keramaian padat pengunjung ketika menaiki gunung, juga membatasi ruang tertentu. Akibatnya, membuat erosi jejak dan sampah yang tercecer ada di sepanjang jalur pendakian.

Pada 7 hingga 9 Juli lalu, agen tur bersama pembuat film asal Prancis Benjami Ortega mengadakan bersih-bersih sampah di Gunung Rinjani. Ketika ditimbang, berat sampah itu mencapai 1.603 kilogram yang mayoritas diisi plastik.

Selain itu juga ada banyak jalan tembus yang dibuat pendaki lain untuk mencari jalan pintas atau pemandangan tertentu, yang bisa membahayakan diri, satwa liar, dan merusak lingkungan. Belum lagi kegiatan usil pengunjung lain seperti membuat susunan batu atau penggundulan rumput, yang terkadang membuat pendaki lain bisa tersesat.

Sebaiknya, Anda mengikuti tiga saran berikut agar bisa mendaki gunung secara tenang dan ramah pada lingkungan sekitar.

1. Rencanakan ke depan dan persiapkan yang Anda perlukan.

Perlengkapan perjalanan yang terdiri dari ransel, dry bag, serta tas kamera. (Titania Febrianti)

"Lebih sedikit orang di jalur, berarti lebih sedikit dampak [manusia] pada area alami," saran Ben Lawhon dari leave No Trace Center for Outdoor, sebuah yayasan pelestarian lingkungan dan pegiat pelestarian. Dia menyarankan mendakilah ke gunung atau taman nasional selama seminggu, bukan pada akhir pekan.

Misal, jika Anda hendak mendaki di areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pahami bahwa akhir pekan adalah waktu yang ramai.

Atau, pilihlah musim dimana destinasi tersebut sepi pengunjung. Berhubung Indonesia memiliki banyak tanggal libur dan hari cuti bersama, jika Anda menginginkan saat sepi, pilihlah waktu di luar tanggal itu.

Pelajari juga lokasi yang hendak Anda kunjungi, terkait COVID-19, apakah ada syarat yang diperlukan seperti menginstal aplikasi PeduliLindungi, menunjukkan surat tes usap, vaksinasi, reservasi, atau memiliki sistem masuk yang detail. 

"Semakin banyak yang Anda ketahui sebelum meninggalkan rumah, semakin baik pengalaman yang Anda miliki dan semakin mudah perjalanan Anda terhadap lingkungan," tambahnya, dikutip dari PopScience.

Baca Juga: Ingin Mendaki Gunung? Berikut 7 Hal yang Perlu Kita Persiapkan

2. Berpelesiran dan berkemahlah di permukaan yang tahan lama.

Ketika tiba, bersikaplah fleksibel dan pilih jalur dan area di sekitar yang tidak menjadi daftar 'terbaik' dalam promosi wisata. Biasanya tempat yang disarankan ini memiliki peminat pengunjung yang banyak.

Untuk berjaga-jaga, tanyakan pada penjaga hutan atau pada simaksi tentang rekomendasi jalur yang kurang populer, atau permata tersembunyi.

Berkemahlah di tempat yang jarang keramaian. Hindari pula untuk merusak rumput agar tidak memicu erosi. (Citra Anastasia)

Ketika hendak berkemah, jangan dirikan tenda atau menginjak kawasan berumput. Tindakan ini menghargai lingkungan dan menghindari erosi pada tanah, ketika tanamannya tidak berfungsi sebagai penyanggah.

Hargai juga orang lain saat mendaki, berpelesiran, dan berkemah. Buat tempat yang Anda singgahi tetap asri demi orang lain yang ingin menyaksikannya. Selain itu cobalah jika berpapasan orang lain untuk beramah-tamah, karena mungkin saja orang lain bisa menolong Anda saat darurat.

3. Patuhi moto pendaki

Pertama, jangan ambil sesuatu kecuali gambar. Maksudnya, para pendaki jangan membawa pulang apapun, seperti bunga yang cantik—biasanya edelweiss (Anaphalis javanica) adalah yang sering diambil saat mendaki, ranting kayu, rumput dan dedaunan, atau lainnya yang memang sudah ada secara alami di gunung.

Jika ingin mengabadikan, berswafotolah tanpa harus merusak lingkungan alami dan hindarilah spot foto berbahaya.

Kemudian, jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Bawalah sampah Anda turun sampai menemukan tempat sampah dengan ransel, dan usahakan tempat berkemah atau yang dilalui bersih dari aktivitas Anda. Tidak lupa, minimalkan dampak api unggun saat berkemah, karena bisa meninggalkan jejak berupa abu, tanah yang gosong, atau risiko kebakaran rumput.

Terakhir, jangan bunuh sesuatu selain waktu. Karena gunung berada di hutan dan hampir semuanya berada di taman nasional, ada banyak hewan dan tanaman yang dilindungi. Hindari memburu hewan dan merusak tanaman demi menjaga kelestarian alam. Bila hewan tersebut menyerang Anda, pahami bagaimana cara melindungi diri tanpa harus membunuh hewan.