Padahal, orang Bali sendiri akan kesulitan membedakan adat, kepercayaan lokal, dengan ajaran Hindu. "Dalam Utsawa Dharma Gita (tafsir kitab Hindu)," ungkap Drake, "orang Bali yang dikenal religius sebagai penganut Hindu, akan kalah dengan kemampuan orang dari luar Bali."
Masyarakat Bali di era ekspansi Majapahit, telah menunjukkan corak kebudayaan dan ritual keagamaannya sendiri. "Mereka terbiasa dengan kepercayaan dan budaya purba yang diturunkan dari nenek moyangnya, utamanya ajaran animisme," imbuh Drake.
Peran Majapahit dalam menyebarkan ajaran Hindu di tulis Drake. "Keluarga kerajaan disibukkan untuk mempengaruhi rakyat (masyarakat lokal) untuk menganut dan meyakini ajaran Hindu," tambah Drake. Kenyataannya, masyarakat masih sulit untuk menganut ajaran Hindu.
Realitas tersebut juga ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, terbitan tahun 2014. Ia meyakini bahwa sampai berkembangnya Islam, pasca melalui fase Hindu dan Buddha di Nusantara, masih dikenalnya kaum Abangan.
Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit
"Kaum Abangan masih kental dengan kepercayaan animisme, dimana ajaran Islam dari kelompok sosial pedesaan, masih menunjukan pola animistis dalam ritual adat dan keagamaannya," tulisnya. Pola-pola animistis dapat dilihat dari praktik-praktik tahlilan, bancakan, dan lain sebagainya.
"Meskipun hubungan antara syari'at dan pola animistis bersifat dikotomik (bertentangan), keduanya adalah buah dari adaptasi kultural. Hubungan keduanya melahirkan pluralitas dan paham Keberagaman di kalangan Islam," tambahnya.
Simpulan dari argumentasi Sanyoto, Drake dan Geertz, menandakan bahwa temuan candi dan bukti arkeologis lain, menggiring sejarawan kolonial untuk menyebut Majapahit sebagai kerajaan Hindu, namun sejatinya Majapahit adalah kerajaan yang majemuk, utamanya kepercayaan animisme yang dominan dianut masyarakatnya.
Baca Juga: Pada Suatu Mi: Untaian Gastronomi dari Dinasti Tang sampai Majapahit