Nationalgeographic.co.id—Buku sejarah mainstream atau buku-buku pelajaran yang diajarkan di sekolah, selalu menyebut bahwa imperium Majapahit yang kuat dan digdaya adalah kerajaan Hindu-Buddha. Pandangan tersebut lantas mendoktrinasi para pembelajarnya dan pembacanya untuk berkesimpulan bahwa Majapahit (termasuk masyarakat lokal yang hidup di dalamnya), secara keseluruhan menganut agama Hindu dan Buddha. Apakah benar demikian?
Agus Sanyoto dalam bukunya yang cukup fenomenal, berjudul Atlas Wali Songo, terbitan tahun 2016, mengungkap beberapa kepercayaan yang berkembang di Nusantara pada masa sebelum Islam berkembang di sana.
Sanyoto berkesimpulan bahwa di era Majapahit, masyarakat lokal di wilayah Jawa Timur (basis Majapahit) dan umumnya di Jawa, telah menganut adanya kepercayaan lokal. "Peninggalan budaya yang berkembang, bahkan dari masa pra-aksara, masih terus dipertahankan masyarakat," tulis Sanyoto.
"Majapahit merupakan kerajaan yang paling digdaya di Nusantara, para elitnya menganut kepercayaan untuk memuja kepada para Dewa sebagaimana dalam ajaran Hindu," tambahnya. Agama Hindu saat itu merupakan agama yang cukup eksklusif, sehingga lebih utama diyakini dianut oleh para raja dan bangsawan yang hidup di dalam istana.
"Hindu jadi agama para elit di Majapahit, begitu juga dengan upaya raja untuk menyebar luaskan ajaran Hindu kepada masyarakat kerajaan, hingga daerah-daerah vassal-nya," lanjutnya. Pernyataan itu, menandakan bahwa agama Hindu tidak sepenuhnya sampai dan dianut oleh masyarakat kerajaan.
Earl Drake dalam bukunya berjudul Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit, terbitan 2012, berupaya menyinggung kepercayaan masyarakat lokal di Majapahit yang sebenarnya. Ia menyebut Majapahit merupakan kerajaan yang majemuk, utamanya dalam hal kepercayaan.
Baca Juga: Jejak Tanah Leluhur Para Raja Jawa di Metropolitan Kuno Majapahit
"Masyarakat Majapahit secara umum tidak menganut Hindu, mereka memiliki kepercayaan tersendiri atau agama lokal," tulis Drake. Masyarakat masih mempercayai tentang adanya kekuatan magis dari ruh nenek moyangnya.
"Kepercayaannya (masyarakat Majapahit) adalah animisme, keyakinan terhadap ruh nenek moyang," tambahnya. Kepercayaan ini telah ada jauh sebelum masehi. Para peneliti sepakat bahwa animisme adalah kepercayaan purba di Indonesia, yang telah ada sejak era neolitik.
Filolog Perancis, L.C. Damais, menguatkan tesis dari Sanyoto dan Drake, bahwa ajaran Hindu dan Buddha, masuk ke daerah-daerah di Nusantara, sedang masyarakatnya telah lama menganut kepercayaan animisme. "Penyebutan pulau Hindu untuk Bali di era Majapahit menjadi keliru," ujar Damais dalam tulisan Drake.
"Bali yang kemudian menjadi Hindu, dulu masyarakatnya merupakan penganut animisme," tambahnya. Animisme tak tercatut dalam agama resmi di Nusantara, sehingga para penganut animisme di Bali harus memilih untuk menganut Hindu secara formal.
Padahal, orang Bali sendiri akan kesulitan membedakan adat, kepercayaan lokal, dengan ajaran Hindu. "Dalam Utsawa Dharma Gita (tafsir kitab Hindu)," ungkap Drake, "orang Bali yang dikenal religius sebagai penganut Hindu, akan kalah dengan kemampuan orang dari luar Bali."
Masyarakat Bali di era ekspansi Majapahit, telah menunjukkan corak kebudayaan dan ritual keagamaannya sendiri. "Mereka terbiasa dengan kepercayaan dan budaya purba yang diturunkan dari nenek moyangnya, utamanya ajaran animisme," imbuh Drake.
Peran Majapahit dalam menyebarkan ajaran Hindu di tulis Drake. "Keluarga kerajaan disibukkan untuk mempengaruhi rakyat (masyarakat lokal) untuk menganut dan meyakini ajaran Hindu," tambah Drake. Kenyataannya, masyarakat masih sulit untuk menganut ajaran Hindu.
Realitas tersebut juga ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, terbitan tahun 2014. Ia meyakini bahwa sampai berkembangnya Islam, pasca melalui fase Hindu dan Buddha di Nusantara, masih dikenalnya kaum Abangan.
Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit
"Kaum Abangan masih kental dengan kepercayaan animisme, dimana ajaran Islam dari kelompok sosial pedesaan, masih menunjukan pola animistis dalam ritual adat dan keagamaannya," tulisnya. Pola-pola animistis dapat dilihat dari praktik-praktik tahlilan, bancakan, dan lain sebagainya.
"Meskipun hubungan antara syari'at dan pola animistis bersifat dikotomik (bertentangan), keduanya adalah buah dari adaptasi kultural. Hubungan keduanya melahirkan pluralitas dan paham Keberagaman di kalangan Islam," tambahnya.
Simpulan dari argumentasi Sanyoto, Drake dan Geertz, menandakan bahwa temuan candi dan bukti arkeologis lain, menggiring sejarawan kolonial untuk menyebut Majapahit sebagai kerajaan Hindu, namun sejatinya Majapahit adalah kerajaan yang majemuk, utamanya kepercayaan animisme yang dominan dianut masyarakatnya.
Baca Juga: Pada Suatu Mi: Untaian Gastronomi dari Dinasti Tang sampai Majapahit