Di Kelok 44, Saya Menangis

By , Sabtu, 26 Juli 2014 | 16:18 WIB

PAPAN KECIL di ujung tikungan di depan saya menunjukkan angka 30. Saya melihatnya dalam keremangan kabut dan hujan yang kian menderas. Jalan semakin tidak bersahabat; menanjak dan licin.

Berkali-kali, saya harus mengusap kaca mata yang dipenuhi butiran air, karena menghalangi pandangan. Kaki kanan saya agak kram, sementara jari manis dan kelingking kanan saya sudah kebas.

Di Kelok 30, saya memutuskan berhenti sejenak. Mengambil napas, mengais sisa-sisa energi, dan mengumpulkan kembali harapan yang seperti hendak terbang dari benak saya.

Saya melihat seorang pesepeda lain sedang duduk di sisi jalan, tepat di bawah papan bertanda “30”. Kepalanya tertunduk. Sepatu dan kaus kakinya sudah dilepas. Sepedanya disandarkan begitu saja pada besi pembatas jalan. Dengan wajah meringis dan senyum yang dipaksakan, ia menyambut saya. “Saya berhenti di sini, Bang. Nggak kuat lagi. Nyerah saya. Kaki saya sudah kram parah,” katanya.

Sejenak, saya pun memikirkan hal yang sama; “Apakah saya harus mengikuti jejaknya? Buat apa dipaksakan? Apa yang hendak saya buktikan?” Seorang marshall yang menggunakan sepeda motor tidak lama kemudian menjemputnya. Dengan tertatih-tatih, si pesepeda yang kelelahan itu kemudian naik ke motor. Sepedanya dituntunnya di sisi motor. Pikiran saya untuk mengikuti jejaknya pun sirna bersamaan dengan hilangnya suara derum mesin motor itu.

Masih ada 14 kelok—dan dengan begitu, artinya masih ada 14 tanjakan—yang harus saya lalui, untuk sampai di titik finis di Bukittinggi. Hujan sudah mereda, tetapi udara dingin tetap menusuk.

Jalan berliku laksana ular raksasa di bawah saya, yang telah saya lewati, lamat-lamat terlihat. Andaikan cuaca cerah, panorama tempat ini tentu sangat indah. Apa lagi sore begini.

Tadinya, saya membayangkan berada di tempat ini tepat menjelang matahari terbenam. Sinarnya yang keemasan bakal membias di Danau Maninjau.

Tetapi, bahkan keindahan pun memiliki nasibnya sendiri-sendiri. Dalam cuaca hujan dan berkabut seperti saat ini, keindahan itu menjelma menjadi agak menakutkan.

Saya pun melanjutkan mengayuh sepeda, berbekal harapan dan keberanian yang pelan-pelan terkumpul kembali.

***

KEBERANIAN ITU pulalah, mungkin, yang dulu hendak dikejar oleh sekelompok pemuda Italia pada akhir abad ke-19. Pada saat itu, sejalan dengan tumbuhnya semangat penjelajahan di kalangan petualang dan ilmuwan, tantangan untuk bersepeda seharian penuh pun mulai populer. Mereka berusaha mengayuh sejauh mungkin, secepat mungkin, dan membuktikan kalau diri mereka adalah audax, atau audacious, ‘berani’ dalam bahasa Italia.

Mereka adalah 12 pesepeda Italia, yang pada 12 Juni 1897 mencoba bersepeda dari Roma ke Napoli, dengan jarak 230 kilometer, dan berharap bisa sampai titik finis di Napoli sebelum senja pupus dari cakrawala. Tidak ada catatan pasti, apakah mereka berhasil menunaikan tantangan itu. Yang jelas, aksi mereka menginspirasi orang-orang berani dari berbagai belahan dunia lainnya untuk menjalani tantangan serupa.