Pada 1904, ketika bibit-bibit usaha meraih kemerdekaan dan nasionalisme bangsa kita mulai bersemi, jurnalis Henri Desgrange di Prancis justru sedang sibuk berpikir agar para pesepeda penganut audacious bersepeda di bawah suatu aturan tertentu.
Selain mengorganisasikan event balapan yang di kemudian hari kita kenal dengan Tour de France—balap sepeda jalan-raya profesional paling bergengsi di dunia—ia pun akhirnya merumuskan regulasi Audax, yang mengharuskan peserta mengayuh secara berkelompok. Bagi yang sukses mencapai garis finis, akan dianugerahi Brevet d’Audax, semacam medali kehormatan.
Dengan persetujuan Desgrange, sekelompok pesepeda yang pernah menyelesaikan tantangan Audax kemudian membentuk klub bernama Audax Club Parisien (ACP), dan mengambil alih event Audax. Sayangnya, pada 1920 terjadi perselisihan antara Desgrange dan ACP. Desgrange pun melarang ACP mengadopsi peraturan Audax yang disusunnya dengan susah payah.
Akhirnya, ACP membuat aturan baru, yang dikenal dengan allure libre (‘free-paced’, ‘kecepatan bebas’). Aturan ini tidak mengharuskan pesepeda mengayuh secara berkelompok, bebas saja, asal sampai di finis dalam batasan waktu yang ditentukan. Aliran ini kemudian dianut oleh jutaan pesepeda dari berbagai belahan dunia, dan dikenal dengan istilah randonneuring.
***
PAGI-PAGI BUTA pada pertengahan April lalu, restoran Hotel Grand Inna di Kota Padang sudah gaduh dengan pesepeda. Sepeda disandarkan di mana-mana. Di dekat meja resepsionis hotel, di halaman, di tembok lobi depan. Beberapa orang terlihat sibuk mengutak-atik sepedanya. Lainnya masih sibuk mengunyah sarapan, termasuk saya.
“Jangan terlalu banyak makan nasi, yang penting lauknya,” ujar Anto Boti, seorang rekan pesepeda. Ketupat padang sayur pakis pun saya tandaskan hanya dalam beberapa menit saja. Rasa pedasnya menyuntikkan semangat buat saya pagi itu.
Anto sudah beberapa kali mengikuti event randonneuring, mulai dari jarak 200 kilometer sampai 400 kilometer. West Sumatra Audax tahun ini, yang menempuh rute Padang-Bukittinggi-Padang adalah event 2x200 kilometer kedua yang pernah dijalaninya. Impiannya, sebagaimana impian randonneur mana pun, adalah mengikuti “ziarah pesepeda”, Paris-Brest-Paris berjarak 1.200 kilometer, dengan batasan waktu tempuh 90 jam.
Ia selalu berapi-api jika bicara soal randonneuring. “Saya menyebut gaya bersepeda seperti ini dengan ‘gentleman riding’, karena peserta dituntut untuk disiplin dan jujur,” katanya.
Randonneuring bukanlah balapan sepeda. Setiap peserta tidaklah saling berkompetisi satu sama lain. Pesepeda yang berhasil mencapai finis dalam batas waktu yang ditentukan sama-sama berhak mendapat brevet—atau medali—finisher. Setiap sekitar 50 kilometer, ada semacam checkpoint yang harus dikunjungi oleh peserta, untuk mencatatkan diri bahwa dia betul telah melewati rute yang ditentukan.
Kota Padang yang biasanya lembap karena tingginya kadar uap air dari pantai, pagi itu terasa sejuk. Semalam hujan turun. Etape-etape awal bersepeda ini menyenangkan sekali. Para “pembalap” yang berambisi mencatatkan waktu terbaik langsung melesat di depan. Saya memilih menikmati pemandangan Pantai Padang dengan bermain ‘cadence’, sambil memanaskan otot-otot kaki.
Saya mulai meningkatkan kecepatan ketika menyusuri Jalan Bypass yang lurus menuju Bandara. Di sini, peserta sudah tercerai-berai. Jalur dari sini menuju tepi Pantai Ketaping (Checkpoint 1, sekitar 50 kilometer dari start) menjadi salah satu favorit saya, karena masyarakat, terutama anak-anak yang baru berangkat sekolah, menyambut kami dengan lambaian tangan dan “tos”. Seperti ketupat sayur pagi tadi, mereka juga menyuntikkan semangat buat saya. Lepas 50 kilometer pertama, saya benar-benar bersepeda sendirian. Saya tidak tahu lagi ada berapa orang di depan saya, dan berapa di belakang. Allure libre.