Di Kelok 44, Saya Menangis

By , Sabtu, 26 Juli 2014 | 16:18 WIB

Waktu baru menunjukkan pukul 9.00, tetapi panas mulai menyengat. Cue sheet (lembar rute) menunjukkan bahwa saya harus menuju arah Pasar Nagari Gasan Gadang. Jalan masih lurus dengan aspal mulus (hampir semua ruas utama di Sumatra Barat memang beraspal bagus, berkah buat pesepeda), tetapi hawa panas mulai menggerus semangat saya.

Di daerah Toboh Kampuang Dalam, saya nyaris mengalami kecelakaan. Tetapi, karena penyebab yang “lucu”: seekor kerbau yang masih terikat tali kekang menyeberang jalan sehingga tali kekangnya melintang. Saya nyaris terpelanting karena ban sepeda tersangkut tali. Sambil bersyukur, saya hanya bisa tersenyum sendirian.

Saya sampai di Checkpoint 2 sekitar pukul 10.30. Berarti sudah sekitar 98 kilometer saya bersepeda. Sudah ada beberapa orang yang menyantap makan siang di Rumah Makan Edi Tanjung, Jalan Raya Tiku, Lubukbasung. Sementara beberapa pesepeda lain malah sudah bersiap-siap untuk kembali menggowes.

Saya sudah tidak peduli lagi. Menu gulai kepala ikan tenggiri langsung saya sikat. Begitu pula gulai lokan (sejenis kerang yang hidup di air payau). Konon, hanya orang Tiku yang mampu menggulai atau merendang lokan dengan baik. Setelah mencicipinya, saya percaya.

Belum puas dengan hidangan utama, saya meraih piring berisi beberapa bungkus lapek koci-koci. Ini juga kudapan khas Minang, terbuat dari sagu dan gula enau. Nikmat.

Dengan perut terisi sempurna, saya melanjutkan perjalanan. Ada dua sampai tiga orang yang menyertai saya. Namun, karena kecepatan dan daya tahan yang berbeda-beda, akhirnya kami terpisah juga.

Jalur Lubukbasung-Maninjau mulai menguras tenaga karena kemiringan jalan tidak bersahabat dengan pesepeda. Beberapa kali, saya harus menepi untuk sekadar mengambil napas. Di jalur ini pula saya akhirnya bertemu dengan beberapa pesepeda lain yang sempat lebih dulu menggowes. Rupanya mereka juga mulai kehabisan tenaga dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Akan tetapi, seperti ujar-ujar yang kerap didengar di lingkungan pesepeda, “di mana ada tanjakan, pasti ada turunan,” menjelang Danau Maninjau akhirnya jalan cencerung turun dan datar, meski kondisi jalan selepas Danau Maninjau menuju Nagari Tanjung Raya kurang baik; aspal rusak dan berlubang.

Hampir bersamaan dengan azan Ashar, saya pun tiba di Checkpoint 3 (kilometer 154).

***

“INI ROMBONGAN Tour de Singkarak ya, Bang?” tanya seorang perempuan—yang sayangnya lupa saya tanyakan namanya—penjaga warung di seberang kantor Wali Nagari Tanjung Raya. Wajahnya cantik, khas Ranah Minang. Mungkin karena wajahnya yang cantik itu, saya jadi terkesima hingga lupa bertanya perihal namanya.

“Bukan, Uni,” jawab saya mencoba ramah, namun tetap saja terasa kikuk. Dia mengatakan, dirinya senang jika daerahnya itu sering jadi perlintasan event bersepeda seperti ini. “Warung jadi lebih ramai,” katanya sambil mengulum senyum. Amboi manisnya.