Di Kelok 44, Saya Menangis

By , Sabtu, 26 Juli 2014 | 16:18 WIB

Saya singgah di warung itu untuk membeli sebungkus jamu instan untuk masuk angin. Perut saya agak kembung, sementara cuaca menunjukkan gelagat akan hujan lebat. Padahal, etape selanjutnya adalah etape terberat: Kelok 44 dan Puncak Lawang.

Benar saja, ketika sedang asyik berbincang dengan “Si Uni”, gerimis turun. Khawatir perjalanan terhambat jika hujan menderas, saya segera angkat kaki dari warung dan kembali melanjutkan perjalanan.

Di “pintu gerbang” Kelok 44, ada tanda peringatan agar pengendara berhati-hati. Sejak dahulu, jalur Kelok 44 di Kabupaten Agam ini memang amat rawan kecelakaan. Wajar, karena jalan menurun/menanjak dengan tikungan-tikungan tajam. Nyali saya sempat ciut.

Saya berusaha mengatur napas di kelok-kelok awal, karena saya tahu pasti, ada 44 tikungan menanjak yang harus dilampaui.

Di Kelok 5, akhirnya hujan turun amat deras. Saya berhenti untuk memakai jas hujan, sekalian meredakan detak jantung. Di sinilah salah satu perbedaan penting antara randonneuring dan bicycle racing. Ya, randonneuring tidak seperti balapan; ketika hujan mulai turun seseorang dari balik jendela mobil segera mengangsurkan jas hujan.

Di sini, peserta membawa semuanya sendiri: peralatan, makanan, lampu-lampu. Bantuan dari pihak lain boleh diberikan hanya di checkpoint. Jika ketahuan menerima bantuan di jalan, peserta akan didiskualifikasi.

Hujan terus menderas hingga Kelok 20-an. Saya melaju terus dengan sisa tenaga. Menjelang Kelok 30, energi saya hampir tandas. Di sanalah saya bertemu seorang pesepeda yang akhirnya menyerah dan memutuskan untuk dievakuasi.

***

SAYA BERHENTI agak lama di Kelok 30. Melihat seorang peserta yang dievakuasi membuat saya galau, apakah hendak meneruskan tantangan ini atau tidak. “Ini randonneuring pertama saya. Sayang juga kalau gagal,” saya bicara dengan diri sendiri.

Saya pun kembali mengayuh pedal. Kabut mulai terkuak sedikit demi sedikit. Hujan mereda. Jejeran perbukitan hijau yang merupakan bagian dari gugusan Bukit Barisan lamat-lamat terlihat di seberang Danau Maninjau. Rancak bana.

Satu per satu tikungan patah saya jajaki. Beberapa kali, ban belakang sepeda saya tergelincir karena jalan aspal licin dibasahi hujan. Jalur dari Kelok 40 ke 42 saya rasakan sebagai yang terberat. Jalan terus menanjak seakan-akan tidak rela untuk ditaklukkan.

Momen emosional itu pun akhirnya tiba. Pertahanan saya hampir roboh. Air mata saya menetes di Kelok 44. Saya bersyukur karena diberi kesempatan untuk menikmati alam yang indah ini, sekaligus diberi kesehatan dan tenaga yang cukup untuk bisa bersepeda hingga titik ini.

Celakanya, Kelok 44 bukanlah “siksaan” yang sebenarnya. Adalah Puncak Lawang, di Kecamatan Matur, yang benar-benar menguji mental saya dalam perjalanan bersepeda ini. Elevasi berubah dari sekitar 1.000 meter ke 1.200-an meter hanya dalam jarak tidak sampai satu kilometer.

Kabut di ruas ini pun jauh lebih pekat ketimbang di kelok mana pun. Jarak pandang tidak sampai sepuluh meter. Kendaraan dari arah berlawanan hanya terdengar mesinnya dari kejauhan, kemudian lampunya tampak menyembul pelan-pelan. Berbahaya sekali.

Ucapan “Allahu akbar” berkali-kali saya gumamkan, saban kaki-kaki saya berusaha mengayuh pedal. Saya percaya, hal itulah yang akhirnya membantu saya memuncaki Puncak Lawang dan turun dalam kecepatan tinggi hingga ke Bukittinggi, titik finis. Saya menuntaskan tantangan ini sebelum batas waktu yang ditetapkan.

Sekarang, saya bisa berkata, sayalah audacious.