Ilmuwan Temukan Cara Mengidentifikasi Gunung Berapi yang Berbahaya

By Ricky Jenihansen, Senin, 18 Oktober 2021 | 12:00 WIB
Lava mengalir di sisi Anak Krakatau pada Juli 2018. (Ricky Jenihansen)

Nationalgeographic.co.id—Telah lama ahli vulkanologi diganggu oleh dua pertanyaan terkait letusan gunung berapi. Pertama, kapan tepatnya gunung berapi akan meletus? Dan bagaimana letusan itu akan terjadi? Apakah lahar akan mengalir seperti pasta menuruni gunung, ataukah gunung berapi akan meledak, eksplosif dan mendorong awan abu berkilo-kilometer ke atmosfer?.

Pertanyaan pertama tentang "kapan" saat ini sudah dapat dijawab dengan relatif tepat. Dengan menggunakan data seismik, para ahli dapat melacak kenaikan lava secara waktu nyata. Sehingga dapat dikatakan kita dapat mengetahui perkiraan waktu letusan dalam beberapa hari.

Sekarang, ilmuwan di ETH Zurich menganalisis data dari 245 gunung berapi untuk dapat memperkirakan bagaimana gunung berapi akan meledak. Studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience baru-baru ini.

Peneliti menjelaskan, teorinya semakin banyak air yang larut dalam magma, semakin besar risiko gunung berapi akan meledak. Studi baru sekarang menunjukkan bahwa aturan sederhana ini hanya sebagian benar. Paradoksnya, kadar air yang tinggi secara signifikan mengurangi risiko ledakan.

Menurut peneliti, gunung berapi di pulau-pulau seperti La Palma atau Hawaii diketahui tidak mungkin menghasilkan ledakan besar. Tapi pertanyaan ini jauh lebih sulit dijawab untuk gunung berapi besar yang terletak di sepanjang zona subduksi, seperti yang ditemukan di Andes, di Pantai Barat AS, di Jepang, Indonesia atau Italia dan Yunani.

Hal itu karena semua gunung berapi tersebut dapat meletus dengan berbagai cara, tanpa ada cara untuk memprediksi mana yang akan terjadi. Jadi untuk lebih memahami bagaimana gunung berapi meletus, dalam beberapa tahun terakhir banyak peneliti berfokus pada apa yang terjadi di saluran vulkanik.

Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Kenapa Gunung Api di Indonesia Sangat Berbahaya

Peta dunia yang menunjukkan lokasi gunung berapi yang dipertimbangkan dalam penelitian ini. (Ricky Jenihansen)

Telah diketahui selama beberapa waktu bahwa gas terlarut dalam magma, yang kemudian muncul sebagai lava di permukaan bumi, merupakan faktor penting. Jika ada sejumlah besar gas terlarut dalam magma, gelembung gas terbentuk sebagai respons terhadap penurunan tekanan saat magma naik melalui saluran.

Kondisi tersebut mirip dengan apa yang terjadi dalam botol sampanye yang dikocok. Gelembung-gelembung gas ini, jika tidak dapat keluar, akan menyebabkan letusan eksplosif. Sebaliknya, magma yang mengandung sedikit gas terlarut mengalir perlahan keluar dari saluran dan karena itu jauh lebih tidak berbahaya bagi daerah sekitarnya.

Pada studi ini, para ilmuwan menganalisis data dari 245 letusan gunung berapi, merekonstruksi seberapa panas ruang magma sebelum letusan, berapa banyak kristal padat yang ada di lelehan dan seberapa tinggi kandungan air terlarutnya. Faktor terakhir ini sangat penting, karena air yang larut kemudian membentuk gelembung gas yang terkenal selama naiknya magma, mengubah gunung berapi menjadi botol sampanye yang terlalu cepat dibuka.

Peneliti menjelaskan, data awalnya mengkonfirmasi teori yang ada, jika magma mengandung sedikit air, risiko letusan eksplosif rendah. Risikonya juga rendah jika magma sudah mengandung banyak kristal. Ini karena dapat memastikan pembentukan saluran gas di saluran di mana gas dapat dengan mudah keluar.

Dalam kasus magma dengan sedikit kristal dan kandungan air lebih dari 3,5 persen, di sisi lain, risiko letusan eksplosif sangat tinggi - seperti yang diprediksi oleh teori yang berlaku.

Olivier Bachmann, Profesor Petrologi Magmatik di ETH Zurich mengatakan dalam rilisnya, hal itu mengejutkan, karena bagaimanapun deskripsinya berubah lagi dengan kadar air yang tinggi. Jika ada lebih dari sekitar 5,5 persen air di magma, risiko letusan eksplosif turun tajam, meskipun banyak gelembung gas pasti dapat terbentuk saat lavanya naik. "Jadi ada area risiko yang jelas yang perlu kita fokuskan," Bachmann menjelaskan.

Bachmann dan rekan peneliti postdoctoralnya Razvan-Gabriel Popa menjelaskan temuan baru mereka melalui dua efek. Semua terkait dengan kandungan air yang sangat tinggi yang menyebabkan gelembung gas terbentuk tidak hanya di dalam saluran, tetapi juga di ruang magma.

Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Potensi Bahaya Gunung Berapi Terbesar di Dunia

Gunung Tambora dianggap sebagai salah satu letusan gunung berapi terdahsyat dalam sejarah tertulis dunia. (Rob Wood /St. Martins Press)

Pertama, banyak gelembung gas yang terhubung sejak awal, pada kedalaman yang sangat dalam, untuk membentuk saluran magma, sehingga memudahkan gas untuk keluar. Gas kemudian dapat bocor ke atmosfer tanpa efek ledakan. Kedua, gelembung gas yang ada di ruang magma menunda letusan gunung berapi dan dengan demikian mengurangi risiko ledakan.

"Sebelum gunung berapi meletus, magma panas naik dari kedalaman yang besar dan memasuki ruang subvulkanik gunung berapi, yang terletak 6 hingga 8 kilometer di bawah permukaan, dan meningkatkan tekanan di sana. Begitu tekanan di ruang magma cukup tinggi untuk memecahkan batuan di atasnya, letusan terjadi," Jelas Popa.

Jika batuan cair di dalam dapur magma mengandung gelembung gas, gelembung-gelembung ini bertindak sebagai penyangga, dikompresi oleh material yang naik dari bawah, memperlambat peningkatan tekanan di dalam dapur magma. Penundaan ini memberi magma lebih banyak waktu untuk menyerap panas dari bawah, sehingga lava lebih panas dan dengan demikian kurang kental ketika akhirnya meletus. Hal ini memudahkan gas dalam saluran untuk keluar dari magma tanpa efek samping yang eksplosif.

Temuan baru ini secara teoritis memungkinkan untuk sampai pada prakiraan yang lebih baik tentang kapan terjadinya ledakan berbahaya. Namun, masih ada pertanyaan, bagaimana menentukan terlebih dahulu jumlah gelembung gas di dalam dapur magma dan sejauh mana magma telah mengkristal?. "Kami sedang berdiskusi dengan ahli geofisika metode mana yang dapat digunakan untuk merekam parameter penting ini dengan baik," kata Bachmann.

Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara