Berbeda dengan populasi ANE yang tersisa saat ini, mumi-mumi Cekungan Tarim tidak menunjukkan bukti percampuran dengan kelompok Holosen lainnya. Sebaliknya, mereka membentuk isolat genetik yang sebelumnya tidak diketahui yang kemungkinan mengalami hambatan genetik yang ekstrem dan berkepanjangan sebelum menetap di Cekungan Tarim.
Adapun para penghuni paling awal dari Cekungan Dzungarian tidak hanya diturunkan dari populasi lokal, tetapi juga dari penggembala stepa Barat, yaitu Afanasievo. Mereka adalah kelompok penggembala dengan hubungan genetik yang kuat dengan para penggembala Yamnaya dari Zaman Perunggu Awal.
Karakterisasi genetik Dzungarian Zaman Perunggu Awal juga membantu memperjelas nenek moyang kelompok penggembala lainnya yang dikenal sebagai Chemurchek, yang kemudian menyebar ke utara ke pegunungan Altai dan ke Mongolia. Kelompok Chemurchek tampaknya merupakan keturunan Dzungaria Zaman Perunggu Awal dan kelompok Asia Tengah dari Koridor Gunung Asia Dalam (Inner Asian Mountain Corridor/IAMC), yang berasal dari populasi lokal dan agropastoralis BMAC.
Baca Juga: Kerangka Sepasang Kekasih di Tiongkok: Bukti Pengorbanan Cinta
"Temuan ini menambah pemahaman kami tentang penyebaran ke timur dari nenek moyang orang-orang Yamnaya dan skenario di mana pencampuran terjadi ketika mereka pertama kali bertemu dengan populasi di Asia Dalam," kata Chao Ning, penulis utama studi dan profesor Sekolah Arkeologi dan Museologi di Peking University.
Fakta bahwa mumi-mumi Cekungan Tarim tidak menunjukkan bukti pencampuran genetik sama sekali adalah suatu hal yang luar biasa mengingat adanya penemuan-penemuan percampuran genetik yang ekstensif di sekitar Cekungan Tarim sepanjang Zaman Perunggu. Yang menarik lagi, meski terisolasi secara genetik, kelompok Cekungan Tarim ini tidak terisolasi secara budaya.
"Meskipun secara genetik terisolasi, orang-orang Zaman Perunggu di Cekungan Tarim sangat kosmopolitan secara budaya. Mereka membuat masakan mereka dengan bahan gandum dan susu dari Asia Barat, millet dari Asia Timur, dan tanaman obat seperti Ephedra dari Asia Tengah," ujar kata Christina Warinner, seperti dilansir EurekAlert. Warinner adalah penulis senior studi ini sekaligus profesor antropologi di Harvard University dan pemimpin kelompok penelitian di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology.
"“Merekonstruksi asal-usul mumi Cekungan Tarim memiliki efek transformatif pada pemahaman kita tentang wilayah tersebut, dan kami akan melanjutkan studi genom manusia purba di era lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah migrasi manusia di stepa Eurasia,” tambah Yinquiu Cui, profesor di School of Life Sciences di Jilin University yang turut terlibat dalam studi yang laporannya telah terbit di jurnal Nature ini.