Misteri Asal-Usul Mumi Tarim yang Ditemukan di Uighur Xinjiang Terkuak

By Utomo Priyambodo, Senin, 1 November 2021 | 10:00 WIB
Salah satu mumi Cekungan Tarim dan peti mati perahu yang memuat mumi tersebut. (Wenying Li, Xinjiang Institute of Cultural Relics and Archaeology)

Nationalgeographic.co.id—Sejak akhir 1990-an, ratusan mumi manusia yang berasal dari sekitar tahun 2.000 Sebelum Masehi hingga 200 Masehi telah ditemukan di Cekungan Tarim di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di Tiongkok. Mumi-mumi ini ditemukan terkubur di peti-peti mati perahu di gurun yang tandus.

Penemuan ratusan mumi ini menarik perhatian internasional karena mereka memiliki penampilan fisik 'Barat', meski mereka hidup dan beraktivitas di wilayah 'Timur'. Mumi-mumi itu ditemukan mengenakan pakaian wol yang terbuat dari kain kempa dan ditenun.

Sebagai bagian dari Jalur Sutra dan terletak di persimpangan geografis budaya Timur dan Barat, Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang telah lama menjadi tempat persimpangan utama untuk pertukaran manusia, budaya, hasil pertanian, dan bahasa trans-Eurasia. Orang-orang yang hidup menetap di wilayah ini diketahui memiliki fokus kegiatan ekonomi mencakup beternak sapi, domba, dan kambing serta mengolah gandum, barley, millet, dan bahkan keju kefir.

Kegiatan ekonomi orang-orang di Cekungan Tarim yang berfokus pada ternak dan penampilan fisik yang tidak biasa pada mumi-mumi mereka ini telah membuat beberapa ahli berspekulasi bahwa mereka adalah keturunan dari para penggembala Yamnaya yang bermigrasi. Para penggembala Yamnaya adalah masyarakat Zaman Perunggu yang sangat mobil dari stepa wilayah Laut Hitam di Rusia selatan.

Beberapa ilmuwan lainnya menduga para mumi Tarim ini berasal dari budaya oasis gurun Asia Tengah dari Kawasan Arkeologis Baktria–Margiana (Bactria-Margiana Archaeological Complex/BMAC). Orang-orang dari kawasan ini adalah kelompok manusia dengan ikatan genetik yang kuat dengan para petani awal di Dataran Tinggi Iran.

Untuk menguak misteri asal-usul para mumi di Cekungan Tarim sekaligus mengonfirmasi spekulasi-spekulasi yang beredar selama ini, tim peneliti internasional dari Jilin University, Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Seoul National University, dan Harvard University melakukan analisis data genom besar dari tiga belas mumi Cekungan Tarim yang paling awal diketahui. Belasan mumi tertua ini berasal dari sekitar 2.100 Sebelum Masehi hingga 1.700 Sebelum Masehi. Selain itu, tim peneliti menganalisis genom lima individu yang berasal dari sekitar 3.000 Sebelum Masehi hingga 2.800 Sebelum Masehi di Cekungan Dzungarian yang berdekatan dengan Cekungan Tarim.

Baca Juga: Penemuan Mumi Perempuan Singkap Gaya Hidup Zaman Dinasti Ming

Peti mati perahu yang memuat mumi ini ditemukan di Cekungan Tarim di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. (Wenying Li, Xinjiang Institute of Cultural Relics and Archaeology)

Penelitian ini merupakan studi skala genomik pertama dari populasi prasejarah di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang. Mumi-mumi yang dianalisis ini juga merupakan sisa-sisa manusia paling awal yang ditemukan dari wilayah tersebut. 

Hasil analisis menunjukkan bahwa mumi-mumi Cekungan Tarim bukanlah orang-orang pendatang baru di wilayah tersebut. Mumi-mumi ini tampaknya merupakan keturunan langsung dari populasi Pleistosen yang dulu tersebar luas tapi sebagian besar telah menghilang pada akhir Zaman Es terakhir.

Populasi ini dikenal sebagai Orang-Orang Eurasia Utara Kuno (ANE). Populasi ini bertahan hanya sebagian kecil dalam genom populasi masa kini, dengan populasi pribumi di Siberia dan Amerika memiliki proporsi tertinggi yang diketahui, yakni sekitar 40 persen.

Baca Juga: Temuan Enam Lubang Pengorbanan Ungkap Ritual Kerajaan Tiongkok Kuno

Berbeda dengan populasi ANE yang tersisa saat ini, mumi-mumi Cekungan Tarim tidak menunjukkan bukti percampuran dengan kelompok Holosen lainnya. Sebaliknya, mereka membentuk isolat genetik yang sebelumnya tidak diketahui yang kemungkinan mengalami hambatan genetik yang ekstrem dan berkepanjangan sebelum menetap di Cekungan Tarim.

Adapun para penghuni paling awal dari Cekungan Dzungarian tidak hanya diturunkan dari populasi lokal, tetapi juga dari penggembala stepa Barat, yaitu Afanasievo. Mereka adalah kelompok penggembala dengan hubungan genetik yang kuat dengan para penggembala Yamnaya dari Zaman Perunggu Awal.

Karakterisasi genetik Dzungarian Zaman Perunggu Awal juga membantu memperjelas nenek moyang kelompok penggembala lainnya yang dikenal sebagai Chemurchek, yang kemudian menyebar ke utara ke pegunungan Altai dan ke Mongolia. Kelompok Chemurchek tampaknya merupakan keturunan Dzungaria Zaman Perunggu Awal dan kelompok Asia Tengah dari Koridor Gunung Asia Dalam (Inner Asian Mountain Corridor/IAMC), yang berasal dari populasi lokal dan agropastoralis BMAC.

Baca Juga: Kerangka Sepasang Kekasih di Tiongkok: Bukti Pengorbanan Cinta

Proses ekskavasi salah satu mumi di Cekungan Tarim. (Wenying Li, Xinjiang Institute of Cultural Relics and Archaeology)

"Temuan ini menambah pemahaman kami tentang penyebaran ke timur dari nenek moyang orang-orang Yamnaya dan skenario di mana pencampuran terjadi ketika mereka pertama kali bertemu dengan populasi di Asia Dalam," kata Chao Ning, penulis utama studi dan profesor Sekolah Arkeologi dan Museologi di Peking University.

Fakta bahwa mumi-mumi Cekungan Tarim tidak menunjukkan bukti pencampuran genetik sama sekali adalah suatu hal yang luar biasa mengingat adanya penemuan-penemuan percampuran genetik yang ekstensif di sekitar Cekungan Tarim sepanjang Zaman Perunggu. Yang menarik lagi, meski terisolasi secara genetik, kelompok Cekungan Tarim ini tidak terisolasi secara budaya.

 

"Meskipun secara genetik terisolasi, orang-orang Zaman Perunggu di Cekungan Tarim sangat kosmopolitan secara budaya. Mereka membuat masakan mereka dengan bahan gandum dan susu dari Asia Barat, millet dari Asia Timur, dan tanaman obat seperti Ephedra dari Asia Tengah," ujar kata Christina Warinner, seperti dilansir EurekAlert. Warinner adalah penulis senior studi ini sekaligus profesor antropologi di Harvard University dan pemimpin kelompok penelitian di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology.

"“Merekonstruksi asal-usul mumi Cekungan Tarim memiliki efek transformatif pada pemahaman kita tentang wilayah tersebut, dan kami akan melanjutkan studi genom manusia purba di era lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah migrasi manusia di stepa Eurasia,” tambah Yinquiu Cui, profesor di School of Life Sciences di Jilin University yang turut terlibat dalam studi yang laporannya telah terbit di jurnal Nature ini.