Karya Seni Gurun

By , Selasa, 24 Februari 2015 | 13:48 WIB

Di Jalan Haji, Arab Saudi, 24°05'20" U, 38°38'05" T

Kami bersembunyi dari panas. Kami berusaha melepaskan diri darinya. Tetapi upaya kami tiada guna, absurd, sia-sia. Panas selalu menemukan kami. Mencemooh semua strategi, rencana, pertahanan kami. Menguapkan semangat kami. Panas selalu menang.

Ali al Harbi, si juru bahasa, duduk tegak dalam kegelapan yang membakar, dalam malam yang tidak meringankan derita, jantungnya berdebar-debar. “Aneh sekali,” katanya ringan, tanpa emosi, seolah sedang membicarakan kesusahan orang lain. “Saya tidak bisa mengatur napas.” Dia berbicara seperti ini karena dia memang tidak memegang kendali penuh atas tubuhnya. Tubuhnya dirasuki oleh kekuatan jahat: panas. Karena hiperventilasi, paru-parunya berusaha memompa keluar udara yang mendidih.

Pada pukul sepuluh pagi, unta-unta kami mulai tertatih-tatih. Si Besar Fares duduk berulang kali di bukit pasir Wadi Safra. Kami memohon kepadanya. (“Jadi anak baik, Fares,” kata Ali. “Tolong bangunlah.”) Hewan-hewan itu menghambur ke sumur gurun. Mereka membenamkan moncong dalam-dalam ke lendir hijau pada tangki persediaan. Dalam dua menit setiap unta menyedot dua puluh liter air. Sebaliknya, kami manusia layu dalam rasa haus. Untuk menghindari matahari, kami menarik diri. Kami mundur ke balik kulit, mencari perlindungan di sumsum tulang terdalam, terlembap, terbasah.

Di bawah pohon duri, Ali melihat ponsel. Pesan yang belum pernah muncul kini tampil di layar: “Perangkat ini melampaui suhu operasinya.” Mati gara-gara panas. Ali menjelaskan hal ini kepada saya tiga kali, baru saya mengerti. Saya mengerjap-ngerjapkan mata kepadanya dengan bodoh, dari dalam gua tengkorak. Rupanya sirkuit otak saya juga sudah meleleh.

!break!

Ahli logistik kami, Saeed al Faidi, mengantar kepergian kami dengan piza. Piza yang dipanggang istrinya, Hind Yahya al Shareef.

Keju, tomat, zaitun, dan cabai berpendar di bawah langit gurun seperti halusinasi: fatamorgana 45 sentimeter. Sudah hampir setahun saya tidak melihat piza. Kami menyantapnya di atas waduk Badui yang berdebu. Setelahnya, saya meminta Saeed tidak membawakan kami makanan seperti itu lagi. Dia tidak boleh menyediakan makanan terus sepanjang perjalanan kami melintasi Arabia. Orang-orang akan menjadi manja. (Awad Omran, si tukang unta, sudah mengeluhkan kacang kalengan, roti basi, bawang penyok, mi instan asin.) Tetapi, alasan saya sebenarnya lebih egois: Makanan kota mewah seperti itu mencerabut saya dari gurun melalui lidah saya. Rasanya janggal. Indra saya tersentak. Kelezatan dan kepura-puraan makanan itu mengaburkan kehampaan kristal Hijaz, membuat kekosongan luas yang membakar terasa semakin jauh—semakin asing, semakin tak terjangkau, semakin tidak nyata. (T.E. Lawrence pernah bercerita tentang sebuah reruntuhan di Suriah, istana seorang ratu, yang dibangun dengan minyak asiri bunga-bungaan merebak di setiap ruangan: melati, violet, mawar. “Mari hirup aroma terwangi,” kata pemandu, mengajaknya ke sebuah ruangan yang terbuka lebar terhadap angin gurun. “Ini yang terbaik: tidak memiliki citarasa.”)

Kehidupan keras di jalur perjalanan. (Paul Salopek)

Lebih dari seminggu kemudian, Saeed muncul sekali lagi di jalur perjalanan.

Kali ini dia membawakan kue bolu cokelat. Sekali lagi, dipanggang oleh istrinya yang menggoda selera.

Dia melihat raut wajah saya. “Ini kue ulang tahun pernikahan kami,” dia menjelaskan, mengangkat tangan untuk mendahului reaksi saya yang anti-makanan. “Saya berkata kepada istri, ‘Hei, kita harus berbagi cinta ini dengan orang-orang.'”

Inilah yang dilakukan oleh kue ini. Baru setengahnya yang sudah dimakan. Huruf Arab yang ditaburkan pada lapisan gula mengeja setengah kalimat: I LOVE YOU

!break!

Kami berjalan masuk ke darat.

Kami menyusuri tarik al hajj, jalan haji yang sudah lama tidak digunakan, dari Bilad al-Syam, dari Suriah dan Yordania, ke kota suci Makkah dan Madinah.