Di Jalan Haji, Arab Saudi, 24°05'20" U, 38°38'05" T
Kami bersembunyi dari panas. Kami berusaha melepaskan diri darinya. Tetapi upaya kami tiada guna, absurd, sia-sia. Panas selalu menemukan kami. Mencemooh semua strategi, rencana, pertahanan kami. Menguapkan semangat kami. Panas selalu menang.
Ali al Harbi, si juru bahasa, duduk tegak dalam kegelapan yang membakar, dalam malam yang tidak meringankan derita, jantungnya berdebar-debar. “Aneh sekali,” katanya ringan, tanpa emosi, seolah sedang membicarakan kesusahan orang lain. “Saya tidak bisa mengatur napas.” Dia berbicara seperti ini karena dia memang tidak memegang kendali penuh atas tubuhnya. Tubuhnya dirasuki oleh kekuatan jahat: panas. Karena hiperventilasi, paru-parunya berusaha memompa keluar udara yang mendidih.
Pada pukul sepuluh pagi, unta-unta kami mulai tertatih-tatih. Si Besar Fares duduk berulang kali di bukit pasir Wadi Safra. Kami memohon kepadanya. (“Jadi anak baik, Fares,” kata Ali. “Tolong bangunlah.”) Hewan-hewan itu menghambur ke sumur gurun. Mereka membenamkan moncong dalam-dalam ke lendir hijau pada tangki persediaan. Dalam dua menit setiap unta menyedot dua puluh liter air. Sebaliknya, kami manusia layu dalam rasa haus. Untuk menghindari matahari, kami menarik diri. Kami mundur ke balik kulit, mencari perlindungan di sumsum tulang terdalam, terlembap, terbasah.
Di bawah pohon duri, Ali melihat ponsel. Pesan yang belum pernah muncul kini tampil di layar: “Perangkat ini melampaui suhu operasinya.” Mati gara-gara panas. Ali menjelaskan hal ini kepada saya tiga kali, baru saya mengerti. Saya mengerjap-ngerjapkan mata kepadanya dengan bodoh, dari dalam gua tengkorak. Rupanya sirkuit otak saya juga sudah meleleh.
Ahli logistik kami, Saeed al Faidi, mengantar kepergian kami dengan piza. Piza yang dipanggang istrinya, Hind Yahya al Shareef.
Keju, tomat, zaitun, dan cabai berpendar di bawah langit gurun seperti halusinasi: fatamorgana 45 sentimeter. Sudah hampir setahun saya tidak melihat piza. Kami menyantapnya di atas waduk Badui yang berdebu. Setelahnya, saya meminta Saeed tidak membawakan kami makanan seperti itu lagi. Dia tidak boleh menyediakan makanan terus sepanjang perjalanan kami melintasi Arabia. Orang-orang akan menjadi manja. (Awad Omran, si tukang unta, sudah mengeluhkan kacang kalengan, roti basi, bawang penyok, mi instan asin.) Tetapi, alasan saya sebenarnya lebih egois: Makanan kota mewah seperti itu mencerabut saya dari gurun melalui lidah saya. Rasanya janggal. Indra saya tersentak. Kelezatan dan kepura-puraan makanan itu mengaburkan kehampaan kristal Hijaz, membuat kekosongan luas yang membakar terasa semakin jauh—semakin asing, semakin tak terjangkau, semakin tidak nyata. (T.E. Lawrence pernah bercerita tentang sebuah reruntuhan di Suriah, istana seorang ratu, yang dibangun dengan minyak asiri bunga-bungaan merebak di setiap ruangan: melati, violet, mawar. “Mari hirup aroma terwangi,” kata pemandu, mengajaknya ke sebuah ruangan yang terbuka lebar terhadap angin gurun. “Ini yang terbaik: tidak memiliki citarasa.”)
Lebih dari seminggu kemudian, Saeed muncul sekali lagi di jalur perjalanan.
Kali ini dia membawakan kue bolu cokelat. Sekali lagi, dipanggang oleh istrinya yang menggoda selera.
Dia melihat raut wajah saya. “Ini kue ulang tahun pernikahan kami,” dia menjelaskan, mengangkat tangan untuk mendahului reaksi saya yang anti-makanan. “Saya berkata kepada istri, ‘Hei, kita harus berbagi cinta ini dengan orang-orang.'”
Inilah yang dilakukan oleh kue ini. Baru setengahnya yang sudah dimakan. Huruf Arab yang ditaburkan pada lapisan gula mengeja setengah kalimat: I LOVE YOU
!break!Kami berjalan masuk ke darat.
Kami menyusuri tarik al hajj, jalan haji yang sudah lama tidak digunakan, dari Bilad al-Syam, dari Suriah dan Yordania, ke kota suci Makkah dan Madinah.
Pegunungan kabut tembus cahaya. Seakan dilukis di udara. Kolam sinar matahari di lembah-lembah terik. Pohon sahur berkulit jingga yang bertebaran menawarkan sekoci teduh. Panas yang membara membuat telinga saya berdenging. Saya mulai mengalami delusi bunyi—denging terputus-putus.
Tetapi bukan—ternyata ponsel saya.
Para wanita itu. Mereka terus menelepon.
Dari nomor telepon yang tidak saya kenal. Mereka orang asing. Mereka bertanya dengan nada memohon dalam bahasa Arab yang tidak bisa saya pahami. Ada puluhan, mungkin ratusan, jumlahnya. Siapa mereka? Entahlah. Bagaimana mereka mendapat nomor saya? Saya tidak tahu sama sekali. Tetapi saya mencurigai layanan telepon Emirat yang unik bernama Mobily: Mereka biasa mendaur ulang nomor telepon lama. Tampaknya dulu nomor telepon saya adalah nomor saluran bantuan bebas pulsa untuk wanita Arab yang dirundung ketakutan eksistensial. “Malesh, malesh,” kata saya kepada para penelepon yang cemas ini. “Mafi Arabi.” Lalu menutup telepon. Tetapi mereka menelepon lagi.
Salah satunya menelepon saya 40-50 kali. Saya menyerahkan telepon kepada Ali. “Salah sambung,” dia memberi tahu perempuan itu dengan tegas.
“Saya tahu,” kata perempuan itu, lalu menutup telepon.
Lalu terpikir oleh saya: Mereka perempuan Saudi. Terkucil. Bosan. Mendekam di balik barikade berbasis gender dalam masyarakat yang sangat konservatif. Terkurung dalam tabir sosial. Saya hampir dapat merasakan AC mereka menyemburkan udara dingin, sedih, metalik di telinga. Dengung kesepian, kebosanan. Mereka mencari bentuk hubungan manusia apa pun di luar lingkaran tertutup mereka, saya simpulkan: Dengan telinga mana pun yang bersimpati (bahkan telinga orang asing yang tidak tahu apa-apa). Jadi, mereka terus menelepon. Begitu ironis! Selama berbulan-bulan saya berusaha mewawancarai perwakilan dari setengah populasi Saudi ini. Tapi ini tidak mudah, terutama di masyarakat terpencil di sepanjang jalur kami. Perlu usaha. Dan sekarang, berkat standar layanan pelanggan Mobily yang tak menentu, tabir itu akhirnya terangkat. Meski secara elektronis. Dan sayangnya, tak bisa saya pahami. Hati saya trenyuh mendengar para perempuan itu.
“Mobily memberi Anda nomor aneh,” kata Ali kemudian, dari atas unta. “Semua perempuan itu? Mereka mengira nomor itu kantor tenaga kerja. Mereka mencari pembantu.”
!break!Kami berjalan melewati bermacam artefak aneh di gurun tanpa jejak ini.
Ban, sofa, meja makan, gulungan karpet, kursi putar kantor, televisi—sampah yang tersusun dalam barisan yang bengkok tapi teratur, membentuk segi empat, membentuk bujur sangkar. Penghalang angin dari perabot? Pesan bagi makhluk luar angkasa? Karya seni lanskap? Bukan: ini garis pagar Badui yang membatasi ladang tua, petak pasir yang sudah lama terbengkalai yang dulu ditanami semangka.
“Di sini tidak ada bahan untuk membuat pagar,” kata ahli logistik saya, Saeed. “Orang Badui mencari di TPA kota. Mereka membawa benda-benda ini untuk menandai gurun.”
Sampah Saudi ternyata bermutu sangat tinggi. Sebagian bahan pagar itu benda-benda pribadi, memilukan. Set piring keramik yang masih bertumpuk di dalam lemari. Mainan anak untuk di halaman. Laci yang masih berisi sendok baja nirkarat seorang koki. (Awad melihat-lihat laci itu, ingin memperbarui peralatan kemahnya yang murah.) Seolah-olah dunia kontemporer kami baru kiamat secara misterius. Seolah-olah angin pasir di Hijaz berubah, menyingkapkan masa depan kami sendiri: Atlantis yang hilang, tetapi terbuat dari Tupperware.
* * *
Hari ketiga sejak meninggalkan El Reis, terdengar tembakan di gurun. Dor ... dor ... dor.
Para pemburu mengincar burung merpati. Tetapi jumlah hewan itu sedikit. Kami melihat kaum lelaki berkeliling di gurun membara dalam truk pikap HiLux tua, dalam Land Cruisers model terbaru, membuka jendela dan menembak pohon duri yang jarang, burung pipit biasa, burung-burung lain yang bertengger di sana.
Undang-undang lingkungan Arab Saudi sama ketatnya dengan di tempat lain di dunia. Ada program penangkaran pemerintah dan swasta yang canggih untuk hewan terancam punah. Tetapi, negara itu luas. Dan di gurun pasir yang tidak dipatroli, berlaku hukum mangsa tertua. Daratan Hijaz mungkin merupakan gurun tersepi yang saya tahu.
Orang-orang ini tidak jahat. Mereka ramah. Salah seorang singgah untuk memberi kami sebotol air dingin. Tetapi mau tak mau saya membayangkan apa kira-kira kata buyut Badui mereka—pemburu gurun yang sabar, pengintai yang berjalan kaki atau naik unta, orang-orang yang membawa lembing, yang pandai melacak seperti orang Apache—tentang mesin yang berseliweran ini. Saya berusaha mencari kata yang tepat. Ini bukan berburu.
“Ini,” kata Ali, “seperti berbelanja.”
Tepat.
!break!Setelah lima hari berjalan, kami sampai ke jalan beraspal.
Kami telah menempuh 160 kilometer dari Laut Merah, melintasi dataran kerikil yang memanggang, lewat lembah berkilau di antara bukit pasir kecokelatan, ke desa gunung Yanbu al Nakhal. Perjalanan kaki terpanas seumur hidup saya—perjalanan yang mengesankan, tetapi hanya satu dari ratusan langkah kecil dalam tarian keliling dunia.
Kami berjabatan tangan, saya, Ali, dan Awad. Sebuah mobil berhenti. Mereka memfoto kami. Mereka menyebut saya orang Pakistan.
Kembali ke area jaringan, ponsel saya berdering lagi setelah empat hari. Perempuan yang tidak dikenal. Dia menanyakan hal-hal yang tak saya miliki jawabannya.