Reka Ulang 'KNIL Vakantie': Menekuri Raut Sejarah dari Sisi Berbeda

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 5 November 2021 | 18:37 WIB
Memaknai sejarah KNIL dari sisi yang berbeda melalui kegiatan komunitas reka ulang. Metode pembelajaran sejarah kadang hanya melihat peristiwa sejarah dari satu sisi. Komunitas sejarah dan pegiat sejarah reka ulang mencoba menyajikan raut muka sejarah dari sisi yang berbeda. (Egar)

Buku Het Koninlijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950 yang disusun oleh H.L. Zwitzer dan C.A. Heshusius mengungkapkan riwayat pascapemulihan kekuasaan Belanda setelah pemerintahan sementara Inggris. "Pada 1816 sampai 1830 berangsur-angsur timbul keadaan bahwa tentara yang dikirim ke Hindia sebenarnya bukan lagi milik tentara Belanda," tulis mereka. Namun demikian keduanya mengungkapkan bahwa "istilah 'Indische leger' (tentara Hindia) sudah menjadi umum sekitar 1817, dan setelah organisasi terpisah didirikan pada 1830, hubungan dengan Tentara Kerajaan Belanda hampir sepenuhnya terputus."

Kedua penulis itu mengungkapkan bahwa unsur bumiputra selalu menjadi faktor penting dalam tentara kolonial yang merdeka. Awalnya rasio orang Eropa dan bumiputra adalah sekitar 1:1, kemudian menjadi 1 orang Eropa berbanding 3 orang bumiputra. Perekrutan prajurit bumiputra terjadi di seluruh pelosok Nusantara. Menurut statistik pada 1937, KNIL terdiri atas sekitar 12.700 orang Jawa, 5.100 orang Menado, 4.000 orang Ambon, 1.800 orang Sunda, 1.100 orang Timor dan penduduk dari berbagai daerah seperti Madura, Bugis, Aceh, dan Melayu.

"Prajurit bumiputra dibayar lebih rendah dari rekan Eropanya, dan sampai tahun 1908 tidak ada alas kaki yang diberikan kepadanya. Pengecualian adalah orang Ambon, yang pada awalnya juga dianggap orang Menado, Sangir, dan Talaud," demikian tulis mereka. Namun sejak awal abad ke-20, mulai dari pangkat kopral, perwira Pribumi menerima gaji yang sama dengan perwira Eropa.

Buku ini juga memuat senarai panjang tentang ekspedisi militer KNIL. Selama periode pertama, 1830 sampai 1942, mereka turut dalam berbagai operasi militer seperti Ekspedisi Montrado di Kalimantan Barat pada 1854, Ekspedisi Aceh 1873-1874, Perang Aceh 1874-1904, dan Ekspedisi Bali 1906-1908. Pada 1942, Jepang berkuasa dan Hindia Belanda tamat. Selama periode kedua, 1942-1950, KNIL kembali turut dalam Aksi Polisional atau Agresi Militer pada 1947 dan 1948, yang misi utamanya ingin meminang kembali permata Hindia yang hilang. Salah satu batalyon infanterinya yang dibentuk di Bandung pada Desember 1945 dijuluki "Andjing NICA".

Namun, KNIL juga menuai banyak kritik. J.C. Bijkerk, seorang penyintas pendudukan Jepang, mengungkapkan dalam buku hariannya. Menurutnya, tentara KNIL tidak disiapkan untuk berhadapan dengan musuh dari luar. "Tentara ini utamanya disiapkan untuk menjaga keamanan dan kedamaian Hindia sebagai kekuatan polisi," tulisnya dalam buku Vaarwel, Tot Betere Tijden yang terbit perdana pada 1973.

Setiap reka ulang sejarah tentu berkait dengan riset kostum atau alat peraga yang mendukungnya. Sejatinya, Komunitas Bangor pun masih mencari referensi warna seragam KNIL yang tepat—atau setidaknya mendekati. Warna hijau yang sesuai bisa diturunkan dari relik sergam KNIL yang dipajang di Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda.

Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda

Reka ulang sejarah adegan pembagian ransum KNIL. Seorang serdadu bercelemek dan bertopi koki sedang membagikan makanan, sementara para serdadu lainnya berderet mengantre. (Agus Sutedja)

Juru masak prajurit kelas satu, dengan tanda pangkat merah lebar, bangga dengan setelan putihnya. Dia menyerahkan panci makan kepada sersan Eropa. Seorang letnan mengawasi agar makanan panas disalurkan dengan benar. Sementara itu tentara pribumi menunggu giliran. (Het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950)

"Referensi yang bener ya Garoet a-b-c," kata Sufiyanto. "Di antara serat hijau, ada nyempil benang merah sedikit orange." Lalu, dia menimpalinya, "Ini gak mungkin ada lagi wong fabrieken udah jadi mal di Garut—kalau nggak salah."

Impresi serdadu KNIL tidak sekadar pada setelan busana seragam, tetapi juga membutuhkan pernik-pernik lainnya yang kadang perlu riset. Dari topi anyaman bambu, emblem, ikat pinggang, suspender, kotak peluru, senapan laras panjang, kelewang dan sarungnya, benkap sampai sepatu. "Kita belum bisa saklek full harus sama kaya gini (komunitas pereka ulang di Belanda)," ungkapnya, "mengingat finansial dan effort tiap orang berbeda."

Okie Rishananto, pegiat Bangor yang berprofesi sebagai pekerja seni untuk pembuatan kostum dan peraga. Dalam perkara reka ulang, dia menekankan kedekatan dengan bentuk orisinalnya. Bukan kebetulan apabila dia mewarisi kepiawaian dalam jahit-menjahit dari sang ibu.

"Kalau belum perfect di mata gue, masih gue permak lagi sampai batas gue dah gak mampu," ujar Okie. "Sama kayak seragam, gue sebisa mungkin riset dan cari apapun yang mendekati aslinya—kalau bisa dapat yang sama."

Baca Juga: Selidik Rijsttafel, Sajian Bersantap Kelas Atas di Hindia Belanda