Kini, Jurnalis Asing Leluasa Meliput di Papua

By , Minggu, 10 Mei 2015 | 11:30 WIB

Presiden Joko Widodo menyatakan akan mencabut persyaratan ketat bagi jurnalis asing untuk memasuki Papua. 

Hal itu dia kemukakan dalam wawancara dengan para wartawan di Abepura, Jayapura, sesaat setelah memberikan grasi terhadap lima tahanan politik yang terkait Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

"Besok (Minggu, 10 Mei 2015) akan saya deklarasikan," kata presiden. 

Benny Wenda mengadakan protes di London bertepatan dengan pertemuan tahunan perusahaan tambang Rio Tinto pada 2010. (AFP via BBC Indonesia)

Pemerintah Indonesia selama ini menerapkan syarat ketat terhadap jurnalis asing yang hendak meliput di Papua. Sejumlah aplikasi harus diajukan ke berbagai kementerian untuk mendapatkan ijin peliputan di provinsi paling timur tersebut. 

Bagi wartawan asing yang kedapatan melanggar, sanksinya berat. Kasus terkini menimpa dua wartawan asal Prancis yang ditahan Agustus 2014 lalu. Belakangan mereka dibebaskan setelah sempat dijatuhi hukuman penjara dua bulan dan 15 hari. 

Ketatnya persyaratan masuk ke Papua, menurut aparat, diterapkan demi keamanan jurnalis karena diyakini masih ada kelompok separatis bersenjata di beberapa wilayah. 

Para seniman ukir suku Kamoro disebut maramowe. Dan, tidak semua warga Kamoro bisa menjadi maramowe. (Maulana Bachri/Kompas TV)

!break!

Konflik 

Konflik di Papua terjadi hampir 50 tahun, sejak pulau di bagian paling timur ini menjadi wilayah Indonesia. 

Papua masih menjadi wilayah Belanda ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Pada 1961 Presiden Indonesia pertama Sukarno melancarkan operasi militer Trikora yang disebutnya sebagai upaya untuk 'mengembalikan Papua bagian Barat (yang disebut Irian Barat) ke wilayah Indonesia. 

Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian di Markas PBB di New York 15 Agustus 1962, dan menyerahkan Papua Barat kepada Otoritas Eksekutif Sementara UNTEA yang didirikan PBB. 

Lapangan bandara Kaimana di Papua pada tahun 1962. Terlihat kantor "Kroonduif" dan pengatur lalu lintas udara serta peralatan lainnya. (Antoni P. Uni/wikimedia commons)

Pada 1969, wilayah Papua Barat menjadi provinsi 26 dari Indonesia melalui jajak pendapat yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat PEPERA, yang legitimasinya dipertanyakan oleh sejumlah pemantau. Nama provinsi ini kemudian diganti menjadi Irian Jaya. 

Sejak saat itu, seruan untuk kemerdekaan Papua Barat terus didegungkan oleh masyarakat Papua yang dipimpin oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), dalam upaya mereka untuk menegaskan dan memelihara budaya mereka. 

Antropolog dan sejarawan dari Universitas Oxford Eben Kirksey, mengungkapkan pemerintah Indonesia berupaya menindas budaya Papua. 

Dia mengatakan "Secara historis budaya Papua yang tidak cocok dengan ideologi nasional Indonesia tidak pernah disuarakan". 

Pemerintah Indonesia, tambah dia tidak mengakui Hak masyarakat adat Papua atas tanah, yang merupakan kebutuhan utama bagi keberlangsungan hidup dan budaya mereka. 

!break!

Wilayah pertambangan yang dioperasikan perusahaan Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc. di Papua. (Reuters via VOA Indonesia)

Pembangunan yang tidak berlanjut 

Papua Barat merupakan rumah bagi 245 suku adat yang memiliki budaya dan bahasa serta budaya sendiri. 

Dataran tinggi memiliki populasi yang padat, dihuni suku terbesar Nduga dan Amungme tinggal dan bertahan hidup dengan bercocok tanam dan berburu.Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah tekanan terhadap kominunitas dan budaya di Papua Barat. 

Pengambilan lahan untuk permukiman baru, konsesi hutan, proyek tambang termasuk minyak, gas, tembaga dan emas serta pertanian, juga kehadiran militer telah melanggar hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya dan budaya. 

Papua Barat merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas, terutama tambang Grasberg yang mayoritas saham dikuasai perusahaan berbasis di AS Freeport McMoRan Copper and Gold. 

Meskipun memiliki kekayaan ini, masyarakat Papua Barat tetap miskin dan pemimpin separatis menyebutkan Pemerintah Indonesia telah merampas sumber daya dengan pengembalian yg sangat sedikit untuk rakyat Papua. 

Pengambilan sumber daya di pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan, sebagian besar limbah dibuang ke sungai Aghawaghon yang merupakan sumber kehidupan masyarakat Amungme. 

Menurut lembaga New Internationalists aktivitas penambangan menyebabkan ratusan orang Amnungme tewas. 

Aktivitas pertambangan Freeport mendapat penjagaan dari pasukan militer Indonesia. 

Dewan Australia untuk Bantuan Luar Negeri melaporkan para petugas keamanan ini telah dituduh melakukan intimidasi, penyiksaan, penembakan dan 'penghilangan' masyarakat lokal. 

!break!

Suara masyarakat adat 

Pada 1999, Tom Beanal, seorang pemimpin suku adat Amungme melakukan kampanye menentang perusahaan pertambangan Freeport, menyampaikan pernyataan kepada Komisi HAM PBB. 

Dia mengatakan, "Segala bentuk negosiasi, yang berkaitan dengan tanah kami yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat Indonesia serta perusahaan asing, dijalankan tanpa konsultasi atau memperhatikan masyarakat adat di Papua Barat. 

Kesenian musik tifa Suku Komoro di Timika, Papua. (Dok. KompasTV)

Dia menambahkan "Jutaan hektar lahan Papua telah dirampas oleh Pemerintah Indonesia dan diserahkan kepada perusahaan asing dan transmigran. Hutan, gunung-gunung , kebun sagu, tanah adat, tempat suci, seluruh kekayaan alam milik rakyat Papua telah dirampas, diperas, dihancurkan dan kemudian dibinasakan." 

"Masyarakat adat yang merupakan pemilik tanah tradisional menjadi penghuni liar....karena tanah leluhur mereka digunakan oleh pemerintah dan perusahaan. Budaya Papua semakin terpinggirkan, dan menjadi inferior...." 

Perubahan 

Otonomi khusus diterapkan di Papua pada 1 Januari, 2002. Dalam aturan baru itu, Papua Barat akan menerima bagian sebesar 70% dari keuntungan minyak dan 60% Dari pendapatan gas serta 80% dari pendapatan sumber daya alam seperti kehutanan, perikanan, dan tambang. 

Tetapi banyak kalangan telah menolak paket tersebut dan menyebutkan kebijakan itu tidak menawarkan solusi untuk sejumlah pelanggaran terhadap tanah adat, sumber daya, dan cara hidup. 

Gerakan Papua Merdeka hanya menginginkan sebuah referendum. Menurut sejarawan Eben Kirksey, kata Merdeka merupakan sesuatu yang penting bagi konsep Politik Papua barat dan merupakan kunci untuk memahami budaya kontemporer Papua dan perjuangan untuk kemerdekaan. 

Bagi rakyat Papua tidak hanya sekedar merdeka tetapi juga ada pengakuan terhadap budaya dan hukum adat. Serta adanya pemimpin adat Dan juga penguasaan sumber daya alam merupakan hal yang utama.