Pernyataan itu dikutip oleh Peter Carey, sejarawan dari Trinity College saat mengisi kuliah umum di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi, Manado, Juni 2021.
Alam yang selalu menguntungkan pihak perlawanan memang sejatinya muncul dalam pemahaman Dipanagara sendiri. Perhatiannya pada alam sudah ada sejak muda karena pengaruh budaya Jawa yang melekat pada diri sang pangeran.
Pengaruh budaya itu bisa dilihat dengan banyak unsur air di lokasi-lokasi pertapaannya. Menurut Carey dalam artikel Diponegoro dan Alam di buku Benantara: Bentang Alam dan Gelombang Sejarah Nusantara, hal itu kemungkinan bersumber dari kebiasaan orang Hindu di Jawa yang melakukan pemujaan yang diawali dengan pencelupan di danau atau sungai yang suci.
"Rupanya pandangan dirinya sebagai Ratu Paneteg Panatagama banyak terinsipirasi dari peraturan-peraturan yang dijalankan oleh para wali di Jawa serta leluhurnya, Sultan Agung," tulis Carey.
Baca Juga: Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara
Perhatiannya pada alam sekitar muncul ketika berperan dalam mengembangkan karakter dan bentuk pemukiman di Tegalrejo, tempat asalnya, setelah wafatnya Ratu Ageng--perancang awal sekaligus nenek buyutnya.
Banyak bangunan yang diperbaiki dan diperbesar ukurannya yang diperkirakan untuk menampung para peziarah, khususnya santri dan rohaniawan Muslim. Dipanagara menaruh perhatian pada tata letak pepohonan dan tambak-tambak di Tegalrejo.
Selain itu menyediakan tempat menyepi di Selorejo agar bisa bersemedi dan berdoa."Tempat menyep ini dikelilingi dengan telaga kecil berisi ikan beraneka macam, dan pulau kecil tempat bangunan samadi itu beridiri ditanami dengan beragam jenis tumbuhan, khususnya kemuning," terang Carey.
"Dengan bunga putihnya yang harum semerbak, pohon ini, yang disukai di Jawa untuk keteduhan makam dan tempat-tempat suci, akan menebarkan 'lapisan bunga putih' di kepala pangeran selama ia duduk bersamadi."
Di Pulo Waringin, pulau kecil itu, Dipanagara merancang adanya pohon beringin. Kebiasaan itu berlanjut pada semedi bulan puasanya di Selarong, dekat Gua Secang di Kabupaten Bantul kini. Terdapat buah-buahan, pohon bidara, sayur-mayur, dan semak belukar di lahan yang diperhatikan tata letaknya olehnya.
Lewat babad, Dipanagara mengungkap perasaanya pada berbagai macam hewan yang menemaninya selama menyepi, seperti ikan, penyu, burung perkutut, buaya, macan, burung kakatua. Hewan-hewan itu digambarkan sejak di Selorejo hingga pengasingannya di Fort Nieuw Amsterdam Manado, dan Fort Rotterdam Makassar.
Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara
Menurut Carey, pandangan yang dimiliki sang pangeran adalah cara raja yang ideal untuk memimpin Jawa dalam tradisi tradisional. Sering merenungkan keinganan pribadinya pada Tuhan dan meditasi, merupakan gambaran yang tepat dalam tirakat versi Jayabaya yang tertuang dalam Babad Dipangara.
Seorang pimpinan ideal semestinya mencari petunjuk dan tuntutan Tuhan yang dapat diungkap lewat pandangan bijaksananya, ketika memimpin. Carey menerangkan Dipanagara memilikinya, persis seperti sebelum perang dimulai dengan perenungan untuk mempersiapkan dirinya.
"Maka demikian juga, selama berlangsungnya perang tersebut, masa bermeditasi sendirian serta pertapaan dilanjutkan, agar ia tetap mampu menjalankan kewicaksanaan sang Ratu Adil itu," tulis Carey.
Pasca kekalahan di Siluk 17 September 1829, perenungan membawanya mendengar firman ilahi yang mengatakan perjuangannya akan sia-sia kedepannya. Tak ada lagi perlawanan yang besar seperti tahun-tahun sebelumnya, Dipanagara bersama beberapa pengikutnya mengembara.
Hingga akhirnya, sang pangeran yang sudah lama diincar Belanda itu hanya tersisa ditemani dua orang punakawannya, Joyosuroto dan Bantengwareng dari November 1829 hingga Februari 1830. Dia meminta petunjuk dari Tuhan agar menemukan tanda-tanda apa yang harus dilakukan kedepannya.
Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur