Mencari Miliaran Benih Jadi Tantangan Restorasi Hutan di Indonesia

By Utomo Priyambodo, Kamis, 18 November 2021 | 10:00 WIB
Penanaman bibit kayu hutan melalui program restorasi. (Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki citra buruk di bidang lingkungan. Sebab, setiap tahunnya negara ini selalu kehilangan area hutan dan lahan hijaunya akibat pengalihan lahan.

Namun begitu, Indonesia ingin mengubah citra tersebut. Dengan komitmen untuk merestorasi lebih dari 47,5 juta hektare lahan dan hutan yang terdegradasi pada tahun 2030, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan India berharap dapat menjadi contoh negara pemelihara lahan.

Negara-negara di daerah tropis itu menyumbang lebih dari 80% komitmen restorasi lahan global hingga saat ini. Komitmen ini telah dibuat di bawah beberapa kerangka kerja termasuk Bonn Challenge dan New York Declaration on Forests.

Restorasi umumnya merupakan bagian dari komitmen pengurangan emisi di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change), yang berakhir akhir pekan lalu di Glasgow. Oleh karena itu, perintisan yang sukses di wilayah (yang relatif) baru dalam pengelolaan lingkungan di daerah tropis ini sangat penting bagi keberhasilan restorasi lahan global.

Memulihkan area yang begitu besar membutuhkan benih tanaman dalam jumlah besar. Ini adalah perkara yang cenderung diabaikan dalam komitmen restorasi.

Halaman berikutnya...

Kekuatan dan kelemahan sistem pasokan benih untuk mendukung proyek restorasi berbasis pohon di Indonesia, Filipina, Malaysia dan India dievaluasi dalam laporan studi baru di jurnal Diversity. Para peneiti memperkirakan bahwa sekitar 157 miliar benih diperlukan untuk memenuhi target restorasi 47,5 juta hektare tersebut.

Laporan studi ini menemukan adanya tren yang menjanjikan, seperti peningkatan dukungan dan pendanaan pemerintah, dalam memenuhi target tersebut. Namun begitu, para peneliti juga menemukan setidaknya dua kekurangan untuk upaya penemuhan target tersebut.

Pertama, kurangnya akses ke benih berkualitas. Dan kedua, peluang yang belum dimanfaatkan bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam pengadaan bibit tanaman tersebut. Menurut mereka, menutup kekurangan ini akan sangat penting untuk kesuksesan jangka panjang pemenuhan target restorasi hutan.

Baca Juga: Genetika Hutan Borneo Ungkap Masa Lalu dan Kemungkinan Masa Depannya

"Penelitian ini menunjukkan dengan sangat eksplisit bahwa ada keterbatasan besar pada kapasitas nasional untuk mewujudkannya dalam skala besar, terutama dalam hal kualitas bahan tanam dan keanekaragaman spesies asli yang sangat penting untuk membuat restorasi menjadi tangguh secara sosial dan ekologis," kata Chris Kettle, salah satu peneliti dalam studi tersebut dan pemimpin global tentang keanekaragaman hayati pohon di Alliance of Bioversity International and CIAT.

"Banyak proyek penanaman pohon terkemuka terbukti gagal memberikan manfaat bagi masyarakat lokal," imbuhnya lagi, sebagaimana dilansir EurekAlert.

Untuk lebih memahami bagaimana organisasi tingkat nasional dari sistem benih pohon mempengaruhi upaya restorasi di lapangan, studi ini memprioritaskan konsultasi dengan orang-orang yang melaksanakan proyek restorasi di empat negara.

"Respons mereka menunjukkan bahwa tantangan dalam memperoleh benih dari spesies dan sumber yang mereka inginkan cukup umum ditemukan, dan informasi tentang kualitas benih seringkali tidak diberikan oleh para pemasok benih. Ini mencerminkan kurangnya kontrol kualitas yang efektif di tingkat nasional dan menyoroti kebutuhan untuk meningkatkan arus informasi dalam sistem benih,” kata Ennia Bosshard, peneliti dari ETH Zurich yang menjadi penulis utama studi tersebut.

Baca Juga: Hutan Mangrove Jadi Sorotan Saat Jokowi Mengunjungi Tahura Ngurah Rai

Halaman berikutnya...

Studi ini didasarkan pada penelitian serupa yang dilakukan di Amerika Latin yang mengusulkan serangkaian indikator untuk mengevaluasi sistem perbenihan nasional. Sistem perbenihan nasional merupakan istilah umum untuk menggambarkan bagaimana fungsi penyediaan, distribusi, dan penggunaan benih dalam konteks atau lokasi tertentu.

"Memantau kemajuan kinerja sistem benih nasional untuk restorasi melalui serangkaian indikator global akan membantu negara-negara mengevaluasi seberapa baik mereka mencapai tujuan restorasi," kata Evert Thomas, peneliti dari Aliance yang juga terlibat dalam studi ini.

Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah

"Kami juga berharap pekerjaan ini dapat memfasilitasi 'pembelajaran horizontal' di mana negara-negara yang berhasil dalam beberapa indikator dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk lebih meningkatkan sistem benih mereka."

Seperti yang ditekankan oleh para peneliti dalam beberapa makalah ilmiah terbaru tentang restorasi, tujuan dari proyek restorasi tertentu perlu didefinisikan secara kolaboratif di awal untuk meningkatkan peluang keberhasilan.

"Definisi restorasi kami menjadi cukup luas mengingat bahwa ada beberapa hasil yang diinginkan ketika meningkatkan fungsionalitas lanskap," kata Riina Jalonen, salah satu peneliti dari Aliance.

"Ini bukan hanya tentang memulihkan hutan alam, ini tentang memulihkan fungsi lanskap dan layanan ekosistem. Restorasi tidak selalu harus menggunakan spesies asli tetapi spesies asli juga tidak boleh dikecualikan. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan benih pohon asli akan menjadi kunci bagi negara-negara Asia untuk memenuhi target restorasi mereka dengan cara yang memberikan beragam manfaat bagi umat manusia dan planet ini."

Baca Juga: Bagaimana Cara Limbah Kopi Menumbuhkan Kembali Hutan Hujan Kosta Rika?