Kurangnya Petani Indonesia Masa Depan

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 18:45 WIB

Masa depan pertanian Indonesia terancam dengan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian, khususnya untuk pertanian pangan. Merosotnya luas lahan garapan kepemilikan pribadi dinilai sebagai salah satu penyebab keengganan ini.

“Ini terjadi dimana-mana, generasi muda semakin hilang dan berkurang yang mau bekerja di sektor pertanian. Ini menjadi tantangan pertanian kita ke depan,” ungkap Nurhady Sirimorok, peneliti dari Ininnawa, dalam sebuah diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei 2015 lalu.

Menurutnya, pembangunan desa akan sangat bergantung pada tenaga produktif, sehingga ketika tak ada lagi generasi muda yang mau mengerjakan lahan, maka kebutuhan pangan pasti akan disuplai dari luar.

Dengan semakin banyak orang yang meninggalkan desa maka kebutuhan pangan mereka akan diimpor dari luar. Apalagi jika lahan tersebut diubah menjadi lahan perkebunan untuk keperluan ekspor, seperti sawit dan lain-lain. Desa yang dulunya eksportir pangan akan berubah menjadi importir.

“Rendahnya keuntungan dari usaha tani, kurangnya lahan, dan tingginya harga tanah pertanian menjadi halangan utama generasi muda desa membayangkan masa depan mereka bersama cangkul dan tanah,” kata Nurhady, yang juga peneliti di Insist ini.

Ia mencontohkan apa yang terjadi di Desa Maleali, sebuah desa penghasil kakao di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Di desa tersebut, sebagian besar lahan pertanian sudah disulap menjadi lahan kakao, termasuk pekarangan rumah yang dulunya untuk tanaman sayuran.

“Mereka pada akhirnya semakin terdesak oleh komoditas kakao, sehingga seluruh kebutuhan pangan kemudian harus diimpor dari luar,” katanya.

Trend pertanian kakao yang dimulai sejak tahun 1990-an, selain memberi harapan baru bagi kesejahteraan juga dinilai sebagai ancaman bagi keberlanjutan pertanian pangan.

“Masalahnya adalah kakao memiliki siklus hidup. Kakao itu seperti mesin, ketika sudah melewati usia 10-15 tahun maka produktifitasnya akan semakin menurun dan tidak bisa diperbaiki lagi,” lanjut Nurhady.

!break!

Ketika lahan pertanian ini semakin rusak maka akan ditinggalkan karena tidak menjanjikan lagi. Mereka akhirnya menjadi buruh tani di usia tuanya.

“Mereka pergi menjadi buruh tanam atau buruh pengupas kelapa padahal usia mereka tidak muda lagi. Dulunya mereka membuka lahan untuk pangan, menanam dan mendapatkan hasilnya. Sekarang mereka bangkrut,” jelasnya.

Di Desa Cendana Hijau, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur, bahkan sejumlah petani transmigran meninggalkan lahan pertaniannya untuk diubah menjadi pabrik pembuatan batu bata, karena dinilai lebih prospektif.

Lebih jauh Nurhady menjelaskan tentang fenomena di Desa Maleali, tentang generasi muda terdahulu yang tumbuh di masa kejayaan kakao.