Kurangnya Petani Indonesia Masa Depan

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 18:45 WIB

“Dulu mereka tidak ada yang tertarik bekerja di luar pertanian karena mereka merasakan hasilnya. Prestise mereka naik sehingga mereka tidak tertarik untuk kerja kantoran.”

Kondisi ini membuat mereka banyak yang tidak melanjutkan sekolah dan justru fokus untuk mengerjakan lahan perkebunan kakao mereka.

“Itu sebabnya mereka banyak yang tidak sekolah atau putus sekolah. Hasilnya, saat ini banyak di antara mereka, yang sekarang telah berusia 30-an, hanya tamatan SD.”

Mereka ini tetap bertahan di dunia pertanian hanya jika mereka melihat prospeknya bagus. Keyakinan ini runtuh, ketika mereka akhirnya menyadari bahwa butuh modal besar untuk melewati siklus itu. Khususnya untuk mengembalikan kesuburan tanah yang terkuras oleh kakao dan menyemprotan kimia bertahun-tahun.

“Para petani ini ternyata kemudian tidak memiliki persiapan melalui siklus tersebut, sehingga kemudian harus bekerja keras lagi memulai dari awal.”

Dengan pengalaman kegagalan di masa lalu disertai perspektif baru bahwa tak ada lagi masa depan untuk pertanian, mereka pun mendorong anak-anak meninggalkan desa, untuk sekolah yang tinggi. Ironsinya, ketika anak-anak ini tak ingin lagi kembali ke desa.

“Jadi beberapa tahun ke depan kita akan menemukan banyak generasi muda yang meninggalkan desa, dan dari sinilah akan menimbulkan masalah baru, dengan semakin jauhnya mereka dari pertanian.”

!break!

Nurhady mencontohkan kasus menarik lainnya di Desa Soga, Kecamatan Marioriawa, Soppeng, Sulsel, yang tidak ada pertandingan sepak bola karena tidak ada lagi pemuda. “Tak banyak generasi muda yang tertinggal desa, bahkan untuk membentuk satu tim sepakbola pun sudah tak cukup.”

Di desa tersebut memang tak ada SMA, yang ada hanya sebuah SMP. Anak-anak yang sekolah ke luar desa biasanya tidak kembali lagi. Sementara yang tidak sekolah juga banyak meninggalkan desa karena melihat tak ada harapan lagi di sektor pertanian.

“Desa itu juga kampung kakao seperti halnya di Maleali. Ketika kakao tidak lagi memberi hasil yang baik, lahan pun tidak serta merta pulih kesuburannya maka tak ada jalan lain bagi mereka selain meninggalkan desa mencari penghidupan di tempat lain.”

Desa Soga ini pun kini memilih komoditas lain untuk ditanam, seperti jagung, meski tidak seprospektif tanaman kakao sebelumnya. Itupun lebih banyak untuk dijual dibanding untuk konsumsi sendiri.

“Untuk mendapatkan beras sebagian warga kemudian menjadi buruh panen di desa-desa lain sekitar. Dari situlah kemudian mereka mendapatkan beras untuk konsumsi pribadi. Ini ironis, karena dulunya desa ini justru dikenal sebagai daerah pertanian.“