Kurangnya Petani Indonesia Masa Depan

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 18:45 WIB

“Kalau perusahaan bilang tanam sawit mereka akan tanam sawit. Sehingga makanan pokok kita akan tergantung dari luar melalui impor.”

Kedua, Indonesia akan kehilangan pertanian berbasis keluarga atau rumah tangga. Kondisi sekarang, dinilai Nurhady membuat petani sulit untuk bertahan mempertahankan kepemilikan lahannya.

“Dengan naiknya harga saprodi akan menaikkan biaya produksi, sehingga mereka akan memilih jadi buruh dibanding mengolah lahan mereka yang sedikit.“

Jika semua itu terjadi, maka pengetahuan bertani akan hilang sendirinya karena tergantikan dengan mekanisasi mesin. Petani tidak lagi belajar tentang pengetahuan pemuliaan, cuaca, dan pengendalian hama. Kearifan lokal pertanian perlahan akan hilang.

“Masalah berlanjut ketika semua alat yang digunakan tersebut tenyata harus dibeli dan diimpor dari luar. Meskipun ada petani tapi kita tetap bergantung dari alat-alat dari luar tersebut. Ketahanan pangan terancam. Misalnya suatu saat kita tak punya benih lagi, maka apa yang bisa dilakukan pemerintah jika suatu saat ada embargo dari luar?”

Globalisasi industri pangan saat ini, menurutnya, hanya dipegang oleh sedikit perusahaan dan secara progresif melakukan pengintegrasian petani dan lahan mereka ke dalam sistem pasar global. Petani hanya salah satu pekerja dalam industri pangan.

“Kalau dalam kasus padi ada mekanisasi dan input kimia. Jadi yang paling diuntungkan adalah mereka produsen input-input tersebut.”

Pada kasus kakao, Nurhady melihat petani hanya menjadi buruh tani kakao global. Karena semua standar mutu dan harga akan ditentukan oleh pasar dunia.

Andaikan keluarga petani mempunyai lahan dua hektar, yang dapat dibagi sebagai lahan pertanian monokultur baik sawit maupun kakao.

“Mereka bermain diinsentif, padahal merekalah yang mendapatkan keuntungan paling kecil dari produksi kakao global, sementara seluruh risiko ditanggung sendiri oleh petani. Kalau terjadi gagal panen maka ini tidak ditanggung oleh mata rantai yang lain.”

Itulah sebabnya perusahaan-perusahaan besar hanya bergerak pada level atas saja misalnya menyuplai alat pertanian, bahan kimia, industri prosesing.

“Tidak ada satupun yang bergerak di bidang produksi kakao di Indonesia. Tahun 2007, sekitar 89% produksi kakao dihasilkan oleh petani kecil sisanya dihasilkan oleh perusahaan negara. Karena memang risikonya tinggi.”