Kurangnya Petani Indonesia Masa Depan

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 18:45 WIB

Nurhady sendiri belum bisa memastikan penyebab kelangkaan generasi untuk bertani di Desa Soga ini. Untuk mengetahui persoalannya secara jelas harus diketahui dulu struktur kepemilikan lahan di desa tersebut.

“Sekarang kami masih meneliti bagaimana struktur kepemilikan tanah di sana. Asumsi saya, sebagian anak-anak yang pergi itu adalah mereka yang tidak punya lahan atau punya lahan sedikit sehingga tidak cukup untuk diwariskan. Prospeknya tidak mencukupi, akhirnya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian.”

Pada akhirnya di desa tersebut muncul dilema bagi mereka, di satu sisi mereka senang ketika anak-anak mereka bisa bekerja dan berkiprah di luar, namun di sisi lain merasa resah karena tak ada lagi generasi pelanjut yang akan membangun desa kelak.

Kekhawatiran Nurhady ini sejalan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 lalu, yang menunjukkan tren penurunan jumlah petani, yaitu dari 31,7 juta rumah tangga (RT) petani turun pada 2003, menjadi 26,13 juta RT (2013), atau penurunan sekitar 5,04 juta RT (1,75%).

Hasil sensus ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga petani rata-rata hanya menguasai 0,89 hektar dan khusus untuk sawah rata-rata cuma 0,39 hektar.

!break!

“Lahan pertanian seluas rata-rata 0,89 hektar per RT inilah yang diperebutkan oleh sekitar 30 juta keluarga petani Indonesia. Banyak generasi muda petani harus mencari uang dengan merantau demi mendapatkan lahan garapan pada masa tua.”

Justru yang meningkat kemudian adalah unit pertanian dan perkebunan padat modal yang berarti bahwa orang-orang inilah yang kemudian menjadi buruh tani.

Data BPS 2014 menyebutkan, Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal.

NTP adalah rasio antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani, salah satu indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian.

“Angka ini pun masih rata-rata, belum memilah antara petani kecil, menengah dan besar, juga antara petani pemilik tanah dan tunakisma atau orang yang tak punya tanah.”

Dengan segala kondisi ini Nurhady melihat adanya ancaman ke depan terhadap pertanian di Indonesia.

Pertama, Indonesia akan kehilangan generasi petani. Kalaupun jadi petani mereka hanya menjadi buruh tani, sehingga tidak bisa mengontrol apa yang ingin ditanam.