Apa Penyebab Ekspatriat Menyebut Singapura Sebagai Utopia?

By , Sabtu, 25 Juli 2015 | 11:30 WIB

Selama ini Singapura membuka diri bagi talenta asing sebagai upaya meningkatkan ekonominya. Alih-alih memberikan 'visa kerja' semata, pendekatan Singapura dirampingkan menjadi sistem izin fleksibel sehingga ada tingkatan kategori-kategori pekerjaan.

Bahkan 'artis pertunjukan' mendapat kategori khusus.

Sebagian besar orang yang menduduki posisi profesional, seperti bankir dan manajer, biasanya memegang izin kerja jenis Employment Pass dengan syarat gaji pokok minimum 3.300 dollar Singapura, setara Rp 31,9 juta per bulan.

!break!

Lee Kuan Yew bersama anak-anak saat mengunjungi sebuah proyek, tahun 1965 (Getty Images via BBC)

Pro dan kontra

Meskipun Singapura menawarkan banyak hal positif —keselamatan, efisiensi, makanan sedap, sekolah kelas wahid dan pelayanan kesehatan— ada beberapa sisi negatifnya.

Hidup di dekat garis Katulistiwa (jangan pergi ke sana bila Anda menyukai musim berbeda-beda, angin sepoi-sepoi atau ski) hanya dapat diminimalisir dengan cara mengatur aliran udara dan memasang pendingin ruangan. Suhu rata-rata sedikit berada di atas 30 derajat Celcius (lebih panas di siang hari).

Artinya tidak ada perubahan musim, sedangkan kelembaban terus menerus mencapai 80 persen. November hingga Januari adalah musim hujan, meskipun hujan kadang-kadang turun dari waktu ke waktu sepanjang tahun.

Bandar udara Changi, Singapura. (BBC)

Hidup di tengah-tengah konsumerisme tanpa henti juga dapat melelahkan. Meskipun mal-mal di sana menakjubkan, pusat-pusat perbelanjaan itu terkadang penuh sesak dan kadang ada antrean ketika ada potongan harga khusus atau pengenalan tas baru merek Louis Vuitton atau iPhone.

"Di daerah pinggiran, Singapura sebenarnya berkembang baik," demikian pengamatan Versace. "Tetapi pusat kotanya lebih mengglobal dengan merek-merek yang juga dijumpai di kota-kota lain. Dan walaupun harga bertambah mahal, kualitas layanan tidak selalu sepadan."