Karya Lie ini terbit ketika masyarakat Tionghoa tengah berada dalam pengaruh budaya Barat yang menggerus cara hidup atau kebudayaan asal mereka.
Salah satu pendorong dan gagasan perkembangan kesusastraan Melayu Tionghoa adalah munculnya penerbitan roman pada 1880-an di Jawa. Percetakan pertama milik orang Tionghoa baru muncul pada 1879. Sebelum periode ini, tampaknya roman Melayu-Tionghoa ditulis dalam bentuk manuskrip. Demikianlah asal-usul novel Melayu modern. Namun, sejak Indonesia merdeka, “kesusastraan tersebut terlupakan secara perlahan,” ungkap Salmon dalam bukunya.
Baca juga: Bejing Memiliki Legenda Kungfu Jet Li, Siapa Legenda Silat Tangerang?
“Karya ini juga menunjukkan, ‘novel modern dalam bahasa Melayu yang pertama’ lahir di perbatasan tiga dunia budaya, yakni Melayu, Tionghoa, dan Prancis-Belanda,” ungkap Claudine Salmon.
Demikianlah, pada 1880-an, awal kesusastraan Melayu-Tionghoa memang diramaikan dengan karya-karya sastra terjemahan Belanda atau Tiongkok. Awalnya roman terjemahan dari sastra Eropa dan Arab muncul dalam cerita bersambung di surat kabar berbahasa Melayu sejak 1860-an.
“Karya ini juga menunjukkan, ‘novel modern dalam bahasa Melayu yang pertama’ lahir di perbatasan tiga dunia budaya, yakni Melayu, Tionghoa, dan Prancis-Belanda,” ungkap Salmon. “Thjit Liap Seng suatu contoh untuk menghidupkan kembali ketionghoaan di tengah kemodernan.”
Agni Malagina, seorang sinolog dari Universitas Indonesia, mengatakan kepada saya bahwa para penulis Tionghoa sama pentingnya dengan penulis lain yang berkontribusi pada perkembangan sastra Indonesia. Orang Tionghoa menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca untuk karya mereka, namun dengan susunan gramatikal yang masih terpengaruh tata bahasa Tiongkok. Mereka turut berperan dalam lintasan perkembangan sastra Indonesia, kata Agni.
“Mereka memang tampak seperti pionir, soalnya punya akses ke penerbit dan kapital,” ujar Agni. “Dan, mereka pandai karena banyak yang mengenyam pendidikan ala Eropa.”