Karya Lie ini terbit ketika masyarakat Tionghoa tengah berada dalam pengaruh budaya Barat yang menggerus cara hidup atau kebudayaan asal mereka.
Salah satu pendorong dan gagasan perkembangan kesusastraan Melayu Tionghoa adalah munculnya penerbitan roman pada 1880-an di Jawa. Percetakan pertama milik orang Tionghoa baru muncul pada 1879. Sebelum periode ini, tampaknya roman Melayu-Tionghoa ditulis dalam bentuk manuskrip. Demikianlah asal-usul novel Melayu modern. Namun, sejak Indonesia merdeka, “kesusastraan tersebut terlupakan secara perlahan,” ungkap Salmon dalam bukunya.
Baca juga: Bejing Memiliki Legenda Kungfu Jet Li, Siapa Legenda Silat Tangerang?
Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Lie Kim Hok adalah salah seorang penulis dan jurnalis Tionghoa yang turut berkontribusi dalam kesusastraan Indonesia. Dia berasal dari sebuah keluarga pecinan Bogor, yang lahir pada Selasa, 1 November 1853. Lie pernah mengenyam pengajaran dari para misionaris Eropa, namun tidak berminat untuk beragama Kristen. Dia mendirikan percetakan kedua di Bogor pada 1885, namun bertahan dua tahun saja. Beberapa roman terjemahan dari Tiongkok berhasil dia terbitkan. Tampaknya Lie memahami permintaan zaman, pada saat itu warga peranakan hanya tertarik tentang roman yang berlatar budaya leluhur mereka di Tiongkok. Anggota Tiong Hoa Hwe Koan ini wafat di Batavia dalam usia 58 tahun pada Senin, 6 Mei 1912.
Salmon mengisahkan, sejatinya Lie menulis roman Thjit Liap Seng dengan menyadur dua roman sekaligus. Roman yang mengilhaminya adalah Klaasje Zevenster karya Jacob van Lennep yang terbit pada 1886 dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine karya Jules Verne yang terbit pada 1879. Dia menyusun kembali cerita dua roman tersebut secara bebas. Namun demikian, Lie memilih “menempatkan alur ceritanya di Tiongkok, agar lebih mudah menghindari kecaman orang Tionghoa-Indonesia,” tulis Salmon.