Konyak, Suku Pemburu Kepala Terakhir di India dan Tradisi Tatonya

By Sysilia Tanhati, Kamis, 25 November 2021 | 11:00 WIB
Tato berhubungan dengan perburuan kepala. Setiap kali prajurit memenggal kepala, ia mendapat tato di leher. (Avantika Chaturvedi)

"Saya tidak menyangkal bahwa perubahan itu baik, terutama ketika itu berhubungan dengan pendidikan. Tetapi dalam kasus Konyak, perubahan itu terlalu banyak dan cepat," kata Phejin. Ketika mengunjungi Museum Nasional Kolkata pada Agustus 2014, ia menyadari betapa banyak dari sejarah budaya India terpampang di sana. Namun tidak ada satu pun informasi tentang keunikan sukunya.

Salah satu alasan tidak ada secuil informasi tentang Konyak adalah ketakutan orang untuk mengunjungi wilayah para pejuang ini. "Itu mengejutkan saya bahwa bahkan di India, identitas Konyak sama sekali tidak dikenal," kata Phejin. Baginya, suara-suara suku Konyak harus didengar.

Dulu, prajurit Konyak percaya bahwa tengkorak manusia memiliki kekuatan magis. Tengkorak dianggap sebagai tempat di mana ‘Yaha’ atau jiwa tinggal. Seorang prajurit Konyak percaya bahwa jika ia memenggal kepala, itu akan membawa kebaikan bagi sukunya.

Tengkorak seseorang memiliki seluruh kekuatan jiwa. Kekuatan jiwa ini sangat berafiliasi dengan kemakmuran dan kesuburan dan digunakan untuk kepentingan desa, kehidupan pribadi, dan pertanian.

Dan di sinilah tradisi tato dimulai. Seorang prajurit yang memenggal musuh akan dihiasi dengan tato leher yang berharga. Jika hanya menjadi bagian dari kelompok berburu dan tidak memenggal kepala, ia akan mendapatkan tato di wajah.

Baca Juga: Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan

Karena tradisinya, tidak ada seorang pun yang berani mendekati suku Konyak. Sehingga dokumentasi tentang Konyak pun sangat minim. (Avantikac98)

Selain berhubungan dengan perburuan kepala untuk pria, pola-pola tersebut menunjukkan klan, mewakili keberanian, status dan prestasi. "Bagi wanita dan anak perempuan, tato menandai transisi dalam hidup dari satu fase ke fase berikutnya," tambah Phejin. Wanita juga memiliki tato khusus yang menandakan prestasi anggota laki-laki dari keluarga mereka.

Perubahan terjadi ketika Inggris mulai menangani perkebunan teh Assam. Pada tahun 1870-an, para misionaris mulai mendirikan sekolah di wilayah tersebut. Selama beberapa dekade berikutnya, ribuan orang menjadi Kristen. Tidak terkecuali suku Konyak. Generasi muda mulai mengadopsi praktik modern dan budaya tato yang unik ini pun memudar.

Phejin tidak sepenuhnya menyalahkan para misionaris. Baginya, pendidikan itu penting. Tetapi para misionaris mengajarkan bahwa agama adalah simbol kelahiran kembali. Sehingga segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan agama, “dibuang” begitu saja. Termasuk tradisi dan budaya Konyak.

Di bulan April 2015, Phejin bertemu dengan prajurit yang memiliki tato leher, Sevenrahpa Chingrahpa. Ia berusia 75 tahun tinggal di desa Chen Loishu, di bagian terpencil dari Kabupaten Mon. Awalnya, Chatrahpa menolak untuk difoto. "Untungnya, kami dapat meyakinkannya," kata Phejin.

Baca Juga: Sering Jadi Sasaran Pemburu, Bagaimana Jadinya Jika Seluruh Harimau Punah?

Dalam beberapa foto di buku, terbukti bagaimana perubahan waktu telah memengaruhi Konyak. Ada sebuah foto prajurit tua yang berpose dengan cucunya. Anak itu mengenakan pakaian barat yang sangat kontras dengan apa yang dikenakan oleh sang Kakek.

Selama berabad-abad, Konyak menurunkan tradisi dan kisah ke generasi yang lebih muda. Tetapi setelah anggotanya yang tertua meninggal, Phejin khawatir budaya, sejarah, dan tradisi pun akan menghilang selamanya.

Ini menjadi alasan mengapa ia melakukan perjalanan dari desa ke desa di kabupaten Mon Nagaland selama tiga tahun terakhir. Ia menggali informasi dari para tetua suku Konyak dan merekam kisah-kisah pribadi, lagu, puisi, dan cerita rakyat.

Dengan bantuan fotografer Peter Bos, ia juga mendokumentasikan tato wajah dan tubuh mereka yang unik, masing-masing menandakan suku, klan, dan status di masyarakat setiap anggota.

Kehidupan, perburuan kepala, dan tato saling berhubungan dalam budaya Konyak. Sekarang prajurit tua dan istri mereka menjadi bukti nyata terakhir dari sebuah tradisi yang hidup.

Baca Juga: Seorang Pemburu Harta Karun Menemukan Piramida Pedang Abad Pertengahan