Teror Tahun 1975 di Belanda, Menagih Janji Maluku Selatan yang Merdeka

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 28 November 2021 | 09:00 WIB
Tentara berjaga di dekat lokasi kereta yang dibajak sekitar Beilen, Belanda. Para pembajak kereta adalah orang Maluku yang menagih janji kemerdekaan Maluku Selatan yang belum terwujudukan. (Nationaal Archief)

Tak ada respons, pada hari ketiga para pembajak membunuh Leo Butler, tentara nasional muda. Kemudian Bert Bierling, seorang ekonom muda pada keesokan harinya di depan polisi, tentara, dan media.

Menteri Hukum Belanda, Andries van Agt memberikan respons, dikutip dari The Times edisi 3 Desember 1975:

"Mereka menuntut agar mereka diizinkan pergi dengan sandera. Kami tidak pernah menyerah pada tuntutan seperti itu, bahkan ketika teroris Jepang menahan Duta Besar Prancis tahun lalu, dan kami tidak akan menyerah sekarang. Lebih jauh lagi, sekarang orang-orang ini telah membunuh, kita tidak bisa membiarkan mereka meninggalkan Belanda sama sekali.

Baca Juga: Nama-nama yang Terlupakan dalam Serangan Bom Jerman di Belanda

5 Desember, salah satu gerbong meledak yang mengakibatkan lima pembajak dan tiga tawanan terluka.

Para pembajak ini menyerah pada 14 Desember dengan alasan perlawanan yang meningkat di Maluku, dan temperatur musim dingin yang hampir menyentuh nol derajat Celsius. Mereka dipenjara 14 tahun, dan Eli Hahury, salah satu pembajak, bunuh diri di jeruji pada 1978.

Teror di KJRI Amsterdam

4 Desember 1975, dua hari setelah pembajakan Beilen, teror dilakukan pula oleh enam orang Maluku bersenjata di KJRI Amsterdam. Mereka mengincar Dubes Indonesia, Letjen Sutapo Yuwono Projohandoko, tetapi tidak hadir karena pergi rapat membahas pembajakan kereta.

Akibatnya, 32 orang termasuk 17 anak sekolah yang ada di kantor konsulat, ditawan. Para teroris itu membuat siaran radio lewat telpon merespons pernyataan Andries van Agt:

"Kami bukan pembunuh; Belanda telah menjadikan kami pembunuh." Mereka membuktikannya dengan membebaskan lima anak termuda, yang kemudian lebih banyak lagi dibebaskan berkat bujukan seorang pendeta.

Baca Juga: De Voormoeders: Kisah Nenek Sejarawan Suze Zijlstra di Hindia Belanda

Tuntutan mereka sama dengan pembajak kereta, dengan tambahan untuk mengadakan debat antara Sutapo dengan Johan Manusama, presiden Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara Sutapo tidak meladeni tuntutan itu, dan meminta lewat Menlu Belanda Max van der Stoel, agar Belanda sendirilah yang harus mengurusi teroris itu.

Seorang penyandera di balkon gedung KJRI Amsterdam. Mereka menuntut pertemuan antara pihak Indonesia, PBB, Belanda, juga pemimpin Maluku Selatan untuk berunding membahas kemerdekaan. (Anefo Reportage)