Nationalgeographic.co.id—Sejak Belanda mulai mencium perdagangan kayu jati di Eropa yang menguntungkan, mereka mulai melakukan monopoli hutan. Beberapa woud afdeeling (hutan di kabupaten) kayu jati, mulai diakuisisi.
Melalui Boschwezen (Djawatan Kehutanan), Belanda berupaya untuk mengakuisisi hutan-hutan di wilayah Karesidenan Rembang, kemudian memasarkan hasil hutannya. Ordonansi baru, kemudian dikeluarkan pada tahun 1927.
Boschewezen seolah memiliki kuasanya atas tanah-tanah dan hutan di wilayah Rembang, itu yang mendorong lahirnya pengakuan atas kepemilikan tanah milik pemerintahan Hindia-Belanda yang kala itu berkuasa.
Salah satu wilayah yang sangat potensial di wilayah Karesidenan Rembang adalah hutan-hutan jati di Afdeeling Blora. Pohon jati dapat tumbuh subur disana karena tanah-tanah berkapur yang baik bagi habitat pohon jati.
"Pemerintah melalui Boschwezen, menetapkan status houtvesterijen (hutan yang dikelola oleh Belanda) kepada hutan-hutan jati di Blora," tulis Ade Rosalina.
Ia menulis dalam skripsinya berjudul Analisis dan Pengaruh Komoditas Ekspor Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Blora, yang dipublikasi oleh Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, pada tahun 2017.
"Pada sub-sektor kehutanan, Afdeeling Blora adalah salah satu daerah utama penghasil kayu jati berkualitas terbaik di Indonesia," tambahnya. Faktor itu, lantas menjadi pendorong diterapkannya status houtvesterijen.
Halaman berikutnya...