Saat Belanda Menguasai Hutan Blora, Ditentang Samin dan Pengikutnya

By Galih Pranata, Selasa, 30 November 2021 | 19:31 WIB
Perusahaan pengelola hutan jati (houtvesterij) milik Hindia-Belanda. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Sejak Belanda mulai mencium perdagangan kayu jati di Eropa yang menguntungkan, mereka mulai melakukan monopoli hutan. Beberapa woud afdeeling (hutan di kabupaten) kayu jati, mulai diakuisisi.

Melalui Boschwezen (Djawatan Kehutanan), Belanda berupaya untuk mengakuisisi hutan-hutan di wilayah Karesidenan Rembang, kemudian memasarkan hasil hutannya. Ordonansi baru, kemudian dikeluarkan pada tahun 1927.

Boschewezen seolah memiliki kuasanya atas tanah-tanah dan hutan di wilayah Rembang, itu yang mendorong lahirnya pengakuan atas kepemilikan tanah milik pemerintahan Hindia-Belanda yang kala itu berkuasa.

Salah satu wilayah yang sangat potensial di wilayah Karesidenan Rembang adalah hutan-hutan jati di Afdeeling Blora. Pohon jati dapat tumbuh subur disana karena tanah-tanah berkapur yang baik bagi habitat pohon jati.

"Pemerintah melalui Boschwezen, menetapkan status houtvesterijen (hutan yang dikelola oleh Belanda) kepada hutan-hutan jati di Blora," tulis Ade Rosalina.

Ia menulis dalam skripsinya berjudul Analisis dan Pengaruh Komoditas Ekspor Terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Blora, yang dipublikasi oleh Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, pada tahun 2017.

"Pada sub-sektor kehutanan, Afdeeling Blora adalah salah satu daerah utama penghasil kayu jati berkualitas terbaik di Indonesia," tambahnya. Faktor itu, lantas menjadi pendorong diterapkannya status houtvesterijen.

Halaman berikutnya...

"Setelah pemerintah kolonial mulai menetapkan peraturan baru yang semakin merugikan rakyat, seperti status houtveterijen pada tahun 1897 yang membatasi akses masyarakat terhadap hutan, dan dilarang mengambil kayu dari dalam Hutan," tulis Sudarmi dan Eldi Mulyana.

Mereka menulis tentang perjuangan Samin dalam prosidingnya yang diterbitkan dalam 2nd International Conference on History Education (ICHE) 2018. Prosidingnya berjudul Moving Saminism and Forming It Local Interest of Sami's Indigenouspeople, publish pada 2018.

Potret Willem dan Johannes Hendrikus Becking, keluarga Belanda yang hidup di sekitar houtvesterijen, Blora. (Wikimedia Commons)

Masyarakat diminta untuk tidak masuk dan mengambil disekitar hutan yang telah berstatus houtveterijen, seperti yang terjadi di houtvesterij Randoeblatoeng, Blora. Mengambil kayu jati adalah hak bagi setiap warga Blora, tetapi menjadi haram setelah ditetapkan di houtvesterij Randoeblatoeng.

Saat diberlakukan status itu oleh Boschewezen, warga lokal tidak diperbolehkan mengambil kayu jati untuk keperluan bangunan. Mereka yang nekat, akan ditangkap karena dianggap mencuri. Padahal sejak dulu, mereka terbiasa menggunakan kayu sebagai fondasi bangunan mereka.

Penangkapan juga terjadi pada warga bernama Samin Surosentiko. Ia dianggap mencuri karena kerap kali mengambil kayu-kayu jati di hutan yang telah diakuisisi oleh Djawatan Kehutanan Hindia-Belanda atau Boschewezen.

Baca Juga: Samin Surosentiko dari Ningrat Jadi Tokoh Perlawanan Tani dan Buruh

Beberapa catatan sejarah lokal menyebut bahwa Samin telah terbiasa mengambil kayu di hutan, membuatnya ditangkap hingga dipenjara oleh pengelola hutan. Ia kerap kali keluar masuk bui akibat tuduhan pencurian kayu jati di hutan berstatus houtvesterijen.

"Awal mula konflik antara Samin Surosentiko dan para pengikutnya, dengan pemerintah Kolonial Belanda dimulai pada tahun 1905 ketika Samin dan para pengikutnya menarik diri dari kehidupan umumnya desa," tambah Sudarmi dan Mulyana.

"(Mereka) menolak untuk menyumbangkan desa lumbung, menolak membayar pajak dan menolak menempatkan sapi atau kerbaunya di kandang umum dengan warga lain yang bukan Samin," imbuhnya.

Hal tersebut jelas memantik konflik dengan pemerintah kolonial. "Status pajak berubah dari kewajiban menjadi sukarela, bahkan Samin sendiri berhenti membayar pajak secara keseluruhan," lanjutnya.

Halaman berikutnya...

Perlawanan Samin dimulai dari propaganda ajarannya yang disampaikan di kediamannya. "Ia menyebarkan ajaran kebatinan yang berakar dari bahasa Jawa filsafat dan budaya di tempat kelahirannya Klopo Dhuwur," ungkapnya. 

Baca Juga: Perpustakaan PATABA, Pengembang Literasi Lokal yang Mendunia

Ajarannya menekankan pentingnya perilaku yang baik, jujur, tidak menyakiti orang lain, taat beribadah, dan selalu mawas diri, bijaksana (rela) dalam berkeinginan dan mengambil keputusan serta tanggap dan cepat mengatasi bencana alam.

Ajaran ini kemudian diterima dan diikuti oleh masyarakat lokal dan menyebar ke sekitar desa dan masyarakat luas. Melalui ajarannya, Saminisme (Samin dan para penganut ajarannya) mulai dianggap meresahkan.

"Pemerintah Belanda kemudian mengambil tindakan tegas untuk menindas mereka, dengan menangkap para pemimpin gerakan Samin untuk mengasingkan mereka kemudian," lanjut Sudarmi dan Eldi Mulyana.

Pohon jati besar (Tectona grandis) yang didorong oleh Gerakan Samin untuk dimanfaatkan penduduk Blora sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. (Wikimedia Commons)

Pada tahun 1907, Samin Surosentiko dan delapan pengikutnya, ditangkap Asisten Wedana Randoeblatoeng, Raden Pranolo. Penangkapan Samin sendiri dilakukan setelah dia diangkat selama 40 hari oleh Raden Pranolo sebagai 'Ratu Adil'.

Samin kemudian dibuang ke Padang, Sumatera Barat. "Dari dulu, Samin Surosentiko tidak pernah menginjakkan kaki di Jawa, sampai dia akhirnya meninggal pada tahun 1914 di Padang," pungkasnya. Meski telah wafat, jarannya terus dilestarikan.

Ajarannya membuat masyarakat Samin selalu berusaha memenuhi semua kebutuhannya secara mandiri, termasuk dalam hal sandang, sehingga bahwa mereka bisa bebas dari krisis tekstil pada masa pendudukan Jepang. Sampai saat ini, mereka dikenal dengan suku Samin.

 Baca Juga: Perjuangan Sedulur Sikep dari Tuduhan Komunis sampai Soal Lingkungan