Hampir semua penyakit yang menjadi pandemi berasal dari penyakit yang baru muncul atau baru kita kenal. Hal itu diungkapkan oleh Nuryani Zainuddin, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Nunung, sapaan akrab Nuryani, juga mengatakan bahwa 60 persen penyakit pada manusia itu bersumber pada hewan. "Sedangkan 75 persen penyakit infeksi yang baru muncul pada manusia berasal dari hewan," ujar Nunung.
Berdasarkan data global yang dikutip Nunung, 80 persen agen penyakit yang ada di dunia ini dan berpotensi sebagai senjata biologis adalah penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. "Penyakit zoonosis menyebabkan 2,5 miliar penyakit dan menyebabkan 27 juta kematian per tahunnya," ucap Nunung.
Jadi, Nunung menegaskan, ancaman pandemi ke depan akibat penyakit yang dibawa oleh hewan lagi akan terus ada. Oleh karena itu, tuturnya, Kementerian Pertanian "sudah memiliki jejaring laboratorium kesehatan hewan dalam rangka bagaimana kita mencegah, mendeteksi, dan merespons kesehatan hewan dalam menghadapi ancaman pandemi."
Ancaman pandemi ini tentu akan berpengaruh pada berbagai sektor kehidupan, termasuk sektor pangan. Namun yang menarik, kata Nunung, sektor pertanian di Indonesia, yang jelas terkait erat dengan pangan, justru naik selama masa pandemi ini.
"Terjadi peningkatan pembangunan di sektor pertanian selama pandemi sekitar 12 persen," ungkap Nunung.
Sebab, banyak sektor lain yang sedang menurun secara ekonomi selama pandemi ini sehingga banyak orang beralih ke sektor pertanian. "Banyak pekerja hotel, misalnya, yang pulang kampung untuk bekerja di sektor pertanian," ujar Nunung mencontohkan.
Senada dengan Nunung yang mengatakan bahwa "ke depan pasti bakal ada ancaman pandemi," Profesor Amin Soebandrio juga menegaskan bahwa risiko pandemi akan terus meningkat seiring meningkatnya pergerakan manusia.
"Globalisasi sudah terjadi dan terus terjadi. Ini akan menyebabkan manusia semakin aktif bergerak dan berpindah. Sebagian besar virus itu tidak terbang sendiri, tapi dibawa oleh manusia," ujar Amin yang kini masih aktif menjadi peneliti di Lembaga Eijkman.
"Pergerakan ini yang akan menyebabkan patogen-patogen itu menyebar dan menemui host (inang) yang baru. Ini yang menjadi kunci penyebaran penyakit," tutur Amin.
Pergerakan manusia yang semakin tinggi ini antara lain dipicu juga oleh kebutuhan manusia yang semakin tinggi tehadap pangan, sandang, dan papan. Selain itu kebutuhan akan hiburan dan rekreasi atau wisata juga bisa menjadi pemicunya.
Amin mencontohkan, di suatu daerah ada penduduk yang membukan hutan untuk membangun perumahan baru. Contoh tindakan yang didasari oleh kebutuhan papan. Namun lalu banyak penduduk di perumahan itu yang kemudian meninggal. "Ternyata mereka terkena penyakit malaria," kata Amin.
Jadi, Amin menegaskan, semakin dekat manusia dengan hutan, akan semakin tinggi pula potensi kontak manusia dengan hewan sehingga risiko manusia tertular penyakit zoonosis pun semakin tinggi juga.
Baca Juga: Cara Cegah Infeksi Virus Nipah yang Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya
Sheherazade, ilmuwan konservasi sekaligus Co-founder Tambora Muda, juga sependapat bahwa perusakan hutan menjadi salah satu penyebab manusia terinfeksi penyakit hingga munculnya pandemi baru.
Sebanyak 60 persen dari penyakit infeksi baru (PIB) disebabkan oleh patogen zoonotik atau yang menular dari hewan. "72 persen dari PIB zoonotik ini berasal dari satwa liar. Hal ini menekankan pentingnya para ahli satwa kehutanan, konservasi satwa liar, kedokteran hewan itu masuk ke dalam penanganan dan pencegahan PIB," kata Shera, sapaan Sheherazade.
"Ini menyediakan justifikasi baru kepada teman-teman yang terlibat dalam perlindungan alam bahwa kita yang peduli terhadap satwa liar sebenarnya juga peduli terhadap kesehatan manusia," tutur Shera.
"Apa yang kita lakukan di konservasi untuk melindungi alam dan mencegah kepunahan, itu sebenarnya berarti juga untuk melindungi kesehatan manusia. Ketika kita melindungi alam itu berati kita melindungi kita semua," tegasnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Shera memaparkan bahwa ada dua jalur yang bisa meningkatkan risiko penularan penyakit zoonotik ke manusia. "Yang pertama adalah perubahan tata guna lahan, terkait deforestasi dan urbanisasi. Kedua, eksploitasi hewan liar, misalnya untuk keperluan konsumsi."
Terkait perubahan tata guna lahan, ada kasus wabah Nipah di Malaysia pada 1990. Menurutnya, kemunculan wabah ini terkait erat dengan deforestasi. Waktu itu banyak bagian hutan dikonservasi jadi perkebunan mangga monokultur. Dia menambahkan bahwa terdapat perkebunan mangga dekat dengan peternakan babi. Kelelawar yang membawa virus Nipah memakan mangga-mangga di perkebunan. Mangga-mangga itu jatuh di dekat peternakan, kemudian dimakan babi-babi. Virus Nipah yang menular ke babi-bai kemudian menular ke para pekerja di peternakan babi.
Baca Juga: Studi: Hutan Hujan Seluas Lapangan Bola Rusak Setiap Enam Detik
Adapun terkait eksploitasi hewan liar, contohnya adalah wabah virus SARS yang muncul pada 2002. Hasil penelitian menemukan bahwa muncul wabah tersebut karena adanya perdagangan musang untuk konsumsi di Tiongkok.
Jadi, penting diingat bahwa untuk mencegah timbulnya pandemi baru, kita sebagai umat manusia perlu membatasi perubahan tata guna lahan dan ekspolitasi satwa liar. Kedua hal ini lagi-lagi terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati.
Pandemi jelas berdampak besar pada sektor ekonomi, termasuk pangan. Jadi untuk menecegah timbulnya pandemi baru ini, menurut Shera, setelah pandemi COVID-19 ini berlalu, setiap negara perlu melakukan investasi untuk bidang konservasi, tidak hanya melulu untuk bidang ekonomi.
Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, mengatakan materi-materi yang disampaikan oleh Nunung, Amin, dan Shera adalah sesuatu yang bergizi. Terutama dari sudut pandang sains.Sayangnya, menurut Didi, kita belum banyak melibatkan sains dalam dialog-dilaog kita. "Kita mungkin masih jarang menggunakan narasi sains tersebut. Ada jembatan yang diperlukan untuk memopulerkan atau menurunkan bagaimana tingkat pemahaman itu bisa dilakukan untuk kegiatan keseharian," ucapnya. Lebih lanjut Didi mengatakan bahwa ada ceruk audiens generasi yang cemas. "Generasi yang cemas itu terpapar oleh begitu banyak narasi, tapi kita butuh pendampingan untuk membentuk sudut pandang yang baru. Di situlah tugas media untuk merangkum itu semua agar menjadi sebuah sudut pandang dan pola pikir untuk melakukan perubahan-perubahan yang memberi dampak. Ketika tidak ada itu, narasinya akan bertemu dengan tembok besar yang mengatakan 'Ah, saya bisa apa'."
Baca Juga: Ketahanan Pangan di Masa Jawa Kuno dari Prasasti dan Manuskrip Semasa
Melihat ke depan
Amin mengatakan bahwa otoritas kesehatan di Indonesia telah belajar banyak dari pandemi-pandemi sebelumnya. "Salah satu yang paling dekat adalah pandemi flu burung. Pada saat itu masih terasa sekali kotak-kotak antar sektoral. Jadi kalau ada kasus, dari otoritas kesehatan manusia jalan sendiri. Kemudian dari otoritas kesehatan hewan jalan sendiri. Tapi dari situ kemudian kami belajar bahwa itu pendekatan yang tidak memecahkan masalah maka dari kedua sektor itu minimum harus bergerak bersama, apakah itu ke pasar, ke peternakan, untuk melihat apakah masalah dan sumbernya sama. Dan itu kemudian dipakai terus sampai sekarang," tutur Amin. Sebagai contoh, ketika ada kasus suatu penyakit yang menyerang hewan, para peneliti dari otoritas kesehatan hewan kemudian meneliti hewan-hewan yang terjangkit. Secara bersama-sama para peneli dari otoritas kesehatan manusia juga meneliti para pemburu hewan, pengumpulnya, pedagangnya, penjualnya, pembelinya, dan konsumennya. "Itulah gambaran bahwa antara kedua sektor ini sekarang sudah semakin baik. Dan itu merupakan salah satu kunci keberhasilan penanganan penyakit-penyakit zoonosis," kata Amin.
Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia
Penutup
Kita berupaya memulihkan relasi yang retak antara manusia, satwa, dan lingkungan demi Bumi yang lebih baik. Mengubah gaya hidup ramah lingkungan dan memuliakan alam, lalu membuatnya membuatnya sebuah kebutuhan. Namun, aktivitas ini tidak bisa berjalan optimal apabila tidak didukung aspeks penjelajahan sains, kebijakan pelestarian dan pemulihan ekosistem.
Setidaknya kita patut meningkatkan kewaspadaan pada tiga pilar utama: ekosistem tempat hidup satwa liar, hewan ternak, dan manusia. Risiko penularan penyakit dari satwa ke manusia selalu ada. Namun apabila keseimbangan ekosistem terjaga dan peraturan dijalankan, risiko akan memudar. Dan, penurunan risiko perihal ancaman pagebluk terhadap ketahanan pangan kita, sejatinya kuncinya adalah biosekuriti atau keamanan biologis di setiap peternakan.
Moral cerita dari Bincang Redaksi-38 ini adalah upaya kolaboratif antara ahli dan praktisi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. Siapa saja mereka? Mereka adalah dokter hewan, dokter, petugas kesehatan masyarakat, ahli epidemiologi, ahli ekologi, ahli toksikologi, pecinta lingkungan. Bukan saja di tingkat global atau pun nasional, tetapi juga pada tingkat tapak atau daerah. Tujuan sinergi ini untuk melindungi kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan lingkungan dari penyakit-penyakit baru dan berulang.
Baca Juga: Gagasan Daulat Pangan Sukarno, Lagu Pengiringnya, dan Masa Depan