Bincang Redaksi-38: Ancaman Pagebluk Baru terhadap Ketahanan Pangan

By Utomo Priyambodo, Jumat, 3 Desember 2021 | 15:00 WIB
Petugas Laboratorium Balai Besar Veteriner Maros, melakukan uji swab terhadap ternak sapi di Desa Jenetaesa, Sulawesi Selatan. (Yusuf Wahil/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sepanjang abad ini, bahkan pada abad-abad yang silam, ada masa-masa ketika manusia hidup bersama pagebluk. Sejarah pagebluk telah mengajarkan bahwa pagebluk akan selalu ada. Artinya, pada masa depan, siap atau tidak siap, umat manusia akan berjumpa pagebluk kembali.

Pada 27 November silam, National Geographic Indonesia menggelar diskusi daring bulanan Bincang Redaksi-38 bertajuk Ancaman Pagebluk Baru terhadap Ketahanan Pangan Kita. Bagaimana memulihkan relasi yang retak antara manusia, satwa, dan lingkungan demi Bumi yang lebih baik?

Bincang Redaksi ini digelar sebagai bagian One Health Day yang diperingati setiap 3 November. Jargon 'One Health' merupakan seruan upaya kolaboratif antara praktisi kesehatan untuk melindungi kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan lingkungan dari penyakit-penyakit baru.

Pangan menjadi perkara penting dan genting, namun kurang mendapat perhatian serius. Bukankah evolusi manusia berangkat dari pangan? Bukankah timbul dan tenggelamnya suatu peradaban telah ditentukan oleh pangan. Dengan kata lain, pangan membentuk peradaban dan kebudayaan kita.

Narasumbernya mewakili regulator, peneliti, pegiat pelestarian lingkungan, dan media.  Bincang Redaksi ini merupakan kerja sama National Geographic Indoneaia dan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), yang didukung Kementerian Pertanian Republik Indonesia, dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).

Kesehatan manusia, satwa liar, dan hewan ternak memiliki ketergantungan satu dengan lainnya. Lingkungan yang berubah akan mengubah pola interaksi ketiganya. Ketidakseimbangan dalam satu ekosistem akan menjalar pada ekosistem yang lain. Perubahan iklim menjadi salah satu aspek pemicu perubahan lingkungan. 

Salah satu dampak dari perubahan lingkungan adalah munculnya penyakit infeksi baru (PIB)—termasuk zoonosis. Perubahan lingkungan memiliki dampak besar pada munculnya kembali penyakit menular tertentu. Kasus ini telah berjangkit di negara-negara dengan keanekaragaman hayati nan tinggi dan masalah lingkungan, sosial, ekonomi yang belum terselesaikan secara serius.

Hampir semua penyakit yang menjadi pandemi berasal dari penyakit yang baru muncul atau baru kita kenal. Hal itu diungkapkan oleh Nuryani Zainuddin, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Nunung, sapaan akrab Nuryani, juga mengatakan bahwa 60 persen penyakit pada manusia itu bersumber pada hewan. "Sedangkan 75 persen penyakit infeksi yang baru muncul pada manusia berasal dari hewan," ujar Nunung.

Berdasarkan data global yang dikutip Nunung, 80 persen agen penyakit yang ada di dunia ini dan berpotensi sebagai senjata biologis adalah penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. "Penyakit zoonosis menyebabkan 2,5 miliar penyakit dan menyebabkan 27 juta kematian per tahunnya," ucap Nunung.

Jadi, Nunung menegaskan, ancaman pandemi ke depan akibat penyakit yang dibawa oleh hewan lagi akan terus ada. Oleh karena itu, tuturnya, Kementerian Pertanian "sudah memiliki jejaring laboratorium kesehatan hewan dalam rangka bagaimana kita mencegah, mendeteksi, dan merespons kesehatan hewan dalam menghadapi ancaman pandemi."

Ancaman pandemi ini tentu akan berpengaruh pada berbagai sektor kehidupan, termasuk sektor pangan. Namun yang menarik, kata Nunung, sektor pertanian di Indonesia, yang jelas terkait erat dengan pangan, justru naik selama masa pandemi ini.

"Terjadi peningkatan pembangunan di sektor pertanian selama pandemi sekitar 12 persen," ungkap Nunung.

Sebab, banyak sektor lain yang sedang menurun secara ekonomi selama pandemi ini sehingga banyak orang beralih ke sektor pertanian. "Banyak pekerja hotel, misalnya, yang pulang kampung untuk bekerja di sektor pertanian," ujar Nunung mencontohkan.

Senada dengan Nunung yang mengatakan bahwa "ke depan pasti bakal ada ancaman pandemi," Profesor Amin Soebandrio juga menegaskan bahwa risiko pandemi akan terus meningkat seiring meningkatnya pergerakan manusia.

"Globalisasi sudah terjadi dan terus terjadi. Ini akan menyebabkan manusia semakin aktif bergerak dan berpindah. Sebagian besar virus itu tidak terbang sendiri, tapi dibawa oleh manusia," ujar Amin yang kini masih aktif menjadi peneliti di Lembaga Eijkman.

"Pergerakan ini yang akan menyebabkan patogen-patogen itu menyebar dan menemui host (inang) yang baru. Ini yang menjadi kunci penyebaran penyakit," tutur Amin.

Pergerakan manusia yang semakin tinggi ini antara lain dipicu juga oleh kebutuhan manusia yang semakin tinggi tehadap pangan, sandang, dan papan. Selain itu kebutuhan akan hiburan dan rekreasi atau wisata juga bisa menjadi pemicunya.

Amin mencontohkan, di suatu daerah ada penduduk yang membukan hutan untuk membangun perumahan baru. Contoh tindakan yang didasari oleh kebutuhan papan. Namun lalu banyak penduduk di perumahan itu yang kemudian meninggal. "Ternyata mereka terkena penyakit malaria," kata Amin.

Jadi, Amin menegaskan, semakin dekat manusia dengan hutan, akan semakin tinggi pula potensi kontak manusia dengan hewan sehingga risiko manusia tertular penyakit zoonosis pun semakin tinggi juga.

Baca Juga: Cara Cegah Infeksi Virus Nipah yang Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya

Kerbau rawa yang tengah merumput di kawasan Mamakam Tengah. Kita perlu waspada untuk meminimumkan dampak pagebluk terhadap sektor pangan. Kesehatan manusia, satwa liar, dan hewan ternak menjadi kuncinya. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Sheherazade, ilmuwan konservasi sekaligus Co-founder Tambora Muda, juga sependapat bahwa perusakan hutan menjadi salah satu penyebab manusia terinfeksi penyakit hingga munculnya pandemi baru.

Sebanyak 60 persen dari penyakit infeksi baru (PIB) disebabkan oleh patogen zoonotik atau yang menular dari hewan. "72 persen dari PIB zoonotik ini berasal dari satwa liar. Hal ini menekankan pentingnya para ahli satwa kehutanan, konservasi satwa liar, kedokteran hewan itu masuk ke dalam penanganan dan pencegahan PIB," kata Shera, sapaan Sheherazade.

"Ini menyediakan justifikasi baru kepada teman-teman yang terlibat dalam perlindungan alam bahwa kita yang peduli terhadap satwa liar sebenarnya juga peduli terhadap kesehatan manusia," tutur Shera.

"Apa yang kita lakukan di konservasi untuk melindungi alam dan mencegah kepunahan, itu sebenarnya berarti juga untuk melindungi kesehatan manusia. Ketika kita melindungi alam itu berati kita melindungi kita semua," tegasnya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Shera memaparkan bahwa ada dua jalur yang bisa meningkatkan risiko penularan penyakit zoonotik ke manusia. "Yang pertama adalah perubahan tata guna lahan, terkait deforestasi dan urbanisasi. Kedua, eksploitasi hewan liar, misalnya untuk keperluan konsumsi."

Terkait perubahan tata guna lahan, ada kasus wabah Nipah di Malaysia pada 1990. Menurutnya, kemunculan wabah ini terkait erat dengan deforestasi. Waktu itu banyak bagian hutan dikonservasi jadi perkebunan mangga monokultur. Dia menambahkan bahwa terdapat perkebunan mangga dekat dengan peternakan babi. Kelelawar yang membawa virus Nipah memakan mangga-mangga di perkebunan. Mangga-mangga itu jatuh di dekat peternakan, kemudian dimakan babi-babi. Virus Nipah yang menular ke babi-bai kemudian menular ke para pekerja di peternakan babi.

Baca Juga: Studi: Hutan Hujan Seluas Lapangan Bola Rusak Setiap Enam Detik

Setidaknya terdapat dua jenis kelelawar yang menjadikan Desa Jenetaesa di Sulawei Selatan sebagai habitat beristirahat sepanjang hari. Habitat mencari makanan tersebar di wilayah sekitar. Kian dekatnya habitat satwa ini dengan warga dan ternak menjadi perhatian serius terkait kemungkinan tercetusnya wabah zoonosis. (Yusuf Wahil/National Geographic Indonesia)

Adapun terkait eksploitasi hewan liar, contohnya adalah wabah virus SARS yang muncul pada 2002. Hasil penelitian menemukan bahwa muncul wabah tersebut karena adanya perdagangan musang untuk konsumsi di Tiongkok.

Jadi, penting diingat bahwa untuk mencegah timbulnya pandemi baru, kita sebagai umat manusia perlu membatasi perubahan tata guna lahan dan ekspolitasi satwa liar. Kedua hal ini lagi-lagi terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati.

Pandemi jelas berdampak besar pada sektor ekonomi, termasuk pangan. Jadi untuk menecegah timbulnya pandemi baru ini, menurut Shera, setelah pandemi COVID-19 ini berlalu, setiap negara perlu melakukan investasi untuk bidang konservasi, tidak hanya melulu untuk bidang ekonomi.

Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, mengatakan materi-materi yang disampaikan oleh Nunung, Amin, dan Shera adalah sesuatu yang bergizi. Terutama dari sudut pandang sains.Sayangnya, menurut Didi, kita belum banyak melibatkan sains dalam dialog-dilaog kita. "Kita mungkin masih jarang menggunakan narasi sains tersebut. Ada jembatan yang diperlukan untuk memopulerkan atau menurunkan bagaimana tingkat pemahaman itu bisa dilakukan untuk kegiatan keseharian," ucapnya. Lebih lanjut Didi mengatakan bahwa ada ceruk audiens generasi yang cemas. "Generasi yang cemas itu terpapar oleh begitu banyak narasi, tapi kita butuh pendampingan untuk membentuk sudut pandang yang baru. Di situlah tugas media untuk merangkum itu semua agar menjadi sebuah sudut pandang dan pola pikir untuk melakukan perubahan-perubahan yang memberi dampak. Ketika tidak ada itu, narasinya akan bertemu dengan tembok besar yang mengatakan 'Ah, saya bisa apa'."

Baca Juga: Ketahanan Pangan di Masa Jawa Kuno dari Prasasti dan Manuskrip Semasa

Contohnya terkait isu perubahan iklim ataupun isu ketahanan pangan. Perubahan iklim sedang terjadi, suhu di Bumi makin panas, stok makanan makin tipis, jumlah manusia makin banyak. Lalu kita bisa apa?"Kecemasan itu yang kadang-kadang membuat kita tidak membuat perubahan yang efektif dan efisien. Itulah fungsi kita sebagai media, yakni sebagai katalisator atau melipatgandakan kekuatan-kekuatan aksi dan kekuatan-kekuatan dari gerakan kita semua," tutur Didi.Oleh karena itu, National Geographic memiliki prinsip untuk senantiasa membuat narasi yang bisa menjadi katalisator tersebut. "Kita harus bisa membuat orang tenggelam ke dalam dengan alur cerita yang luas, penceritaan yang penuh gairah, topik yang mendorong batas, dan perspektif yang segar sehingga bisa membuat dampak dengan melangkah lebih jauh menciptakan cerita di balik cerita itu sendiri."

Melihat ke depan

Amin mengatakan bahwa otoritas kesehatan di Indonesia telah belajar banyak dari pandemi-pandemi sebelumnya. "Salah satu yang paling dekat adalah pandemi flu burung. Pada saat itu masih terasa sekali kotak-kotak antar sektoral. Jadi kalau ada kasus, dari otoritas kesehatan manusia jalan sendiri. Kemudian dari otoritas kesehatan hewan jalan sendiri. Tapi dari situ kemudian kami belajar bahwa itu pendekatan yang tidak memecahkan masalah maka dari kedua sektor itu minimum harus bergerak bersama, apakah itu ke pasar, ke peternakan, untuk melihat apakah masalah dan sumbernya sama. Dan itu kemudian dipakai terus sampai sekarang," tutur Amin. Sebagai contoh, ketika ada kasus suatu penyakit yang menyerang hewan, para peneliti dari otoritas kesehatan hewan kemudian meneliti hewan-hewan yang terjangkit. Secara bersama-sama para peneli dari otoritas kesehatan manusia juga meneliti para pemburu hewan, pengumpulnya, pedagangnya, penjualnya, pembelinya, dan konsumennya. "Itulah gambaran bahwa antara kedua sektor ini sekarang sudah semakin baik. Dan itu merupakan salah satu kunci keberhasilan penanganan penyakit-penyakit zoonosis," kata Amin.

Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia

Dokter hewan mengambil sampel lendir di kerongkongan seekor ayam yang mati di laboratorium Balai Besar Veteriner, Wates, Yogyakarta. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
Tentu saja, menurut Amin, kolaborasi antara dua sektor ini juga harus diikuti dengan kemampuan dalam mendeteksi dan mencegah penyakit-penyakit tersebut, serta kemampuan membuat vaksin. Baik vaksin untuk manusia maupun vaksin untuk hewan. "Jadi kita harus punya kemampuan sendiri dan tidak bergantung pada luar negeri. Jadi, intinya kerja sama antara kedua sektor ini menjadi kunci penanganan ini. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kesehatan hewan akan mempengaruhi kesehatan manusia, begitu pula sebaliknya," ucap Amin. Terkait ancaman pagebluk baru di masa depan, Nunung menyimpulkan bahwa seharusnya kita bisa mengurangi faktor risiko yang bisa meningkatkan ancaman pandemi. "Kejadian pandemi COVID-19 ini sudah menyadarkan kepada kita semua bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Baik dari sektor kami di Kementerian Pertanian, atau dari berbabagi sektor terkait kesiapan kita di masa yang akan datang. Kita juga perlu meningkatkan kerjama multisektor dalam menghadapi pandemi-pandemi selanjutnya," ujarnya.Senada dengan Nunung yang menyebut perlu adanya pelbagai perbaikan dalam kesiapsiagaan menghadapi pandemi, Amin juga menyatakan bahwa kita semua harus meningkatkan kapasitas dalam mengatasi pagebluk. "Untuk mengatasi ini kita harus memiliki dan meningkatkan terus kapasitas untuk memprediksi, mencegah, mendeteksi, dan merespons, dan melaporkan. Kelima kegiatan ini yang harus dilakukan secara konsisten dan tentu kemampuannya harus selalu ditinggngkatkan. Sebab, tanpa itu, mungkin kita akan seringkali 'kecolongan' atau mengalami keterlambatan dalam merespons terhadap perkembangan yang ada, termasuk kejadian-kejadian seperti pandemi ini," tutur Amin. Didi merangkum bahwa kejadi pagebluk ini menyadarkan kita untuk memiliki sudut pandang yang segar. "Bahwa kita harus memandang ini dengan sudut pandang yang baru. Perubahan perilaku, perubahan yang sebetulnya harus dimulai dari diri kita sendiri. Karena semua kebijakan dan infrastruktur itu tidak akan menolong jika kita, penduduk Bumi, tidak melakukan perubahan pola pikir dan perilaku keseharian. Kita harus melihat dengan konsep 'One Health', bahwa jika kita melindungi satu, itu berarti kita melindungi semua."

Penutup

Kita berupaya memulihkan relasi yang retak antara manusia, satwa, dan lingkungan demi Bumi yang lebih baik. Mengubah gaya hidup ramah lingkungan dan memuliakan alam, lalu membuatnya membuatnya sebuah kebutuhan. Namun, aktivitas ini tidak bisa berjalan optimal apabila tidak didukung aspeks penjelajahan sains, kebijakan pelestarian dan pemulihan ekosistem.

Setidaknya kita patut meningkatkan kewaspadaan pada tiga pilar utama: ekosistem tempat hidup satwa liar, hewan ternak, dan manusia. Risiko penularan penyakit dari satwa ke manusia selalu ada. Namun apabila keseimbangan ekosistem terjaga dan peraturan dijalankan, risiko akan memudar. Dan, penurunan risiko perihal ancaman pagebluk terhadap ketahanan pangan kita, sejatinya kuncinya adalah biosekuriti atau keamanan biologis di setiap peternakan.

Moral cerita dari Bincang Redaksi-38 ini adalah upaya kolaboratif antara ahli dan praktisi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. Siapa saja mereka? Mereka adalah dokter hewan, dokter, petugas kesehatan masyarakat, ahli epidemiologi, ahli ekologi, ahli toksikologi, pecinta lingkungan. Bukan saja di tingkat global atau pun nasional, tetapi juga pada tingkat tapak atau daerah. Tujuan sinergi ini untuk melindungi kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan lingkungan dari penyakit-penyakit baru dan berulang.

Baca Juga: Gagasan Daulat Pangan Sukarno, Lagu Pengiringnya, dan Masa Depan