Sambungan dari artikel Tiada Kata Menyerah (1)
Seperti yang lainnya, Godipun juga tersangkut di sebuah dahan. Malang baginya karena ransel peluru dan granatnya lolos ke bawah. Menggunakan tali, Godipun mencoba turun ke bawah. Namun dahan tempatnya bergantung tiba-tiba patah, sehingga ia jatuh di pinggir kali berlumpur. Untung lumpurnya cukup dalam, sehingga menjadi seperti matras. Hampir seluruh kakinya tertanam di lumpur. Setelah berhasil keluar, ia mendengar suara pluit di ketinggian, yang ketika dilihatnnya berasal dari Sarjono. Temannya ini tidak bisa turun karena sudah lemas. Oleh Godipun ditolong turun. Ia kembali naik karena ransel dan perbekalan temannya masih tersangkut di ranting.
Pada hari ketiga setelah bertemu teman-temannya yang lain yaitu Sahudi , KU I Fortianus, KU I Dompas, KU II Jhon Saleky, KU II Aipassa, dan tiga orang lagi yang namanya tidak diketahui, Godipun mengucapkan terima kasih pada Jhon Saleky karena tanpa sengaja menemukan granat dan ransel miliknya. Kakak kandung Jhon Saleky yaitu KU I Wim Saleky diterjunkan di Sorong tanggal 13 Agustus dalam Operasi Jatayu, Aipassa sendiri gugur tahun 1967 karena kecelakaan saat free fall di Margahayu.
Dua orang yang mengalami patah kaki, terpaksa dititipka kepada penduduk di sekitar Dropping Zone. Keluarga in ternyata sudah dibina Belanda, sehingga kedua anggota yang patah kaki tadi diserahkan kepada Belanda.
Komandan tim Lettu Heru Sisnodo memutuskan bahwa yang sakit yaitu KU I Sahudi dan Pratu Margono, sebaiknya tinggal di tempat karena jelas akan mengganggu gerakan pasukan. Pasukan ini mengalami kontak senjata dengan Belanda sewaktu memotong sagu. Dalam kontak ini, pasukan PGT tercerai-berai karena kekuatan yang tidak seimbang, di samping fisik mereka sudah lemah. Setelah tembakan berhenti, Heru memerintahkan Godipun membantu rekan-rekan yang lain.!break!
"Saya pergi dan menemukan bekas tempat mereka memasak sagu," ujar Godipun. Besoknya, Belanda kembali datang dan kembali terjadi kontak tembak, namun tidak ada yang terluka.
Dalam kontak tembak ini KU I Fortianus tertembak di dada dan tewas ditempat, sedangkan Pratu Suyono dari RPKAD berhasil meloloskan diri dan bertemu dua orang yang ditinggal karena cedera yaitu KU I Sahudi dan Pratu Margono. Pada 18 Juli, dua orang yang cedera ditambah Pratu Suyono tertangkap Polisi Belanda di abwah pimpinan Letnan Pol Ayal (asal Ambon) dan wakilnya Torar (asal Manado). Sebelum tertangkap, Margono sempat terlepas dari kedua temannya untuk menghindari patroli Belanda. Dia bertahan di pinggiran sungai dengan memakan pohon kates.
Pada suatu hari, Godipun disuruh menebang pohon pisang yang agak jauh dari induk pasukan. Begitu kembali, ia sudah tidak menemukan rekan-rekanya, pergi entah kemana. Dia berusaha menyusul. Sial baginya, di perjalanan ia disergap Belanda. “Angkat tangan, lempar senjata!” Salah seorang berteriak ke arahnya. Godipun langsung tiarap dan merayap menjauh. Karena tidak kunjung keluar, tembakan gencar pun diarahkan ke persembunyiannya.
“Saya betul-betul disiram,” kenang Godipun. Sebuah timah panas akhirnya mendarat di pundaknya. Sakit sekali sampai-sampai rasanya mau nangis. Pundak kirinya hancur dan tulang belikatnya mencelat keluar.
Nyaris sudah pasrah karena kondisinya cukup parah, Godipun masih berusaha untuk tidak tertangkap. Dia bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Entah ilmu apa yang dimilikinya, Belanda tidak berhasil menemukannya sampai akhirnya pergi. Tak lama kemudian, Godipun berusaha keluar. Rasanya tangan kirinya sudah tidak ada, kalaupun maih ada sudah tidak bisa digerakkan. Namun ia tidak menyerah. Sambil menahan sakit, Godipun terus berjalan sampai menemukan teman-temannya. Ia lalu mendapat pengobatan dari orang kesehatan RPKAD, Komaruddin.!break!
Mungkin kasihan melihat anak buahnya, besok paginya Heru menawarkan Godipun untuk menyerahkan diri. Dipikirnya dengan menyerahkan diri, anak buahnya ini akan mendapatkan pengobatan dari dokter Belanda.
“Komandan, kalau saya mau menyerah sudah dari tadi, sumpah prajurit tidak boleh menyerah,” jawab Godipun tegas dengan nada tersinggung.
Penangkapan ketiga orang ini akibat ulah penduduk yang kelihatannya cukup baik, namun sebenarnya kaki tangan Belanda. Pasukan yang dapat lolos setelah kontak senjata dengan Belanda kemudian bergerilya dan bertahan dalam alam yang ganas selama tiga bulan.