Pasien HIV/AIDS Depresi, Model Perawatan Ini Efektif Membantu

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 4 Desember 2021 | 09:00 WIB
Depresi menyulitkan pengobatan pasien HIV/AIDS untuk sampai viral load tidak terdeteksi. Para perawat harus menjalankan metode ini untuk perawatan yang optimal. (demaerre/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Menurut keterangan UNAIDS, Afrika Selatan merupakan salah satu negara dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di dunia. Tercatat, penyakit itu menjadi penyebab utama kematian di sana pada 2013. Sementara, pengidap harus berjuang untuk melawan dengan rangkaian pengobatan demi mencapai tingkat virus yang tidak terdeteksi.

Selain berjuang melawan penyakit, mereka juga harus melawan depresi karena tenaga kesehatan harus bekerja ekstra merawat mereka. Akibatnya, kesehatan mental juga menghantui para pasien dengan HIV/AIDS.

Maka dari itu, penelitian terbaru di Journal of International AIDS Society menawarkan metode perawatan depresi yang diharapkan bisa diterapkan secara lokal di Afrika Selatan, maupun global. Makalah itu berjudul Treating depression and improving adherence in HIV care with task-shared cognitive behavioural therapy in Khayelitsha, South Africa: a randomized controlled trial.

Baca Juga: Kisah Para Perempuan Indonesia Pengidap HIV/AIDS yang Hidup dengan Stigma

Penelitian itu dipimpin oleh Steven Safren dari Department of Psychology, University of Miami, bersama tim dari Amerika Serikat, Uganda, dan Afrika Selatan. Mereka menyarankan agar perawat dilatih lebih agar bisa memberikan terapi perilaku kognitif (CBT) yang dapat disesuaikan secara khusus untuk menangani depresi.

Lewat metode CBT ini, terbukti ampuh untuk mengubah pola pikir atau perilaku yang salah atau tidak membantu dalam menangani pasien HIV/AIDS yang depresi.

"Kita tahu bahwa mengobati orang dengan HIV-positif yang secara klinis mengalami depresi dengan anti-depresan saja tidak memengaruhi viral load mereka. Depresi mereka mungkin membaik, tetapi kepatuhan mereka tidak," kata Safren.

Baca Juga: Uji Klinis Terbaru: Halusinogen Dalam 'Jamur Ajaib' Redakan Depresi

Dia sebelumnya pernah melakukan penelitian terkait HIV/AIDS di permukiman miskin di luar Cape Town, Afrika Selatan, pada 2015. Penelitian itu juga dilakukan bersama John Joska dari Department of Psychiatry, University of Cape Town, dan profesor psikologi Harvard Medical School Conall O'Cleirigh yang keduanya kini pun terlibat dalam tim.

"Jadi, mengingat kekurangan profesional kesehatan mental secara global, kami menunjukkan adalah mungkin untuk melatih perawat agar memberikan terapi perilaku kognitif untuk kepatuhan dan depresi (CBT-AD), sebuah intervensi yang berhasil mengatasi depresi klinis dan HIV yang tidak terkontrol."

Safren dan tim merekrut 161 pasien HIV/AIDS yang tidak terkontrol dan mengalami depresi secara klinis dari empat klinik kesehatan masyarakat di Khayelitsha, sebuah kota pemukiman di Western Cape, Afrika Selatan.

Baca Juga: Terapi Tidur Bantu Cegah Depresi Pada Orang Tua Dengan Insomnia

Meski dalam kondisinya para petugas medis dapat meresepkan anti-depresan kepada pasien, tetapi klinik memiliki layanan psikologis yang terbatas. Diketahui dalam laporan mereka, hanya ada 0,28 psikiater dan 0,32 psikolog per 100.000 orang di Afrika Selatan.

Kemudian saat penelitian berlangsung, semua peserta menerima perawatan yang ditingkatkan dari biasanya untuk pasien HIV/AIDS yang memiliki depresi klinis. Walau, usaha ini sebenarnya tidak mencapai penekanan virus setelah menerima bulan pertama pengobatan HIV/AIDS. Didapati, perawat memberikan resep lain dan pertemuan tindak lanjut dengan konselor kepatuhan.

Pasien HIV/AIDS di negara dengan kasus rentan depresi, karena tenaga kesehatan yang terbatas. (jarun011/Getty Images/iStockphoto)

Selain itu, setengah dari pasien juga secara acak ditugaskan untuk menghadiri delapan sesi CBT-AD. Para perawat yang terlatih secara khusus mengintegritasikan model strategi untuk mengobati depresi dengan konseling kepatuhan, yakni dengan menghubungkan elemen seperti keterampilan hidup, relaksasi, pemantauan suasana hati, dan pemecahan masalah.

Safren menerangkan, intinya adalah untuk membantu pasien 'mengurangi volume' gejala kesehatan mental mereka, agar mereka jadi lebih terbuka untuk konseling tentang manfaat mengonsumsi obat untuk pemulihan depresi. Untuk melacak kepatuhan, pasien juga menerima kotak pil elektronik yang setiap kali dibuka, mengirimkan sinyal waktu ke server web yang akan diamati perawat.

Baca Juga: Jangan Tinggalkan ODHA, Semangat Organisasi Warga Peduli HIV/AIDS

Langkah selanjutnya, para peneliti mengevaluasi bagaimana pendekatan CBT-AD secara berkelanjutan di Afrika Selatan, bahkan di negara lain seperti Amerika Serikat bisa diterapkan.

Saat ini, Miami, Amerika Serikat, menjadi titik baru kasus HIV/AIDS. Safren rencananya akan melakukan pendekatan serupa agar pelayanan tenaga medis dapat membantu menekan HIV/AIDS secara optimal.

"Afrika Selatan memiliki kasus HIV/AIDS terbanyak di dunia dan Miami adalah kota dengan insiden kasus baru tertinggi di AS—jadi ada paralelnya," kata Safren.

Cara dengan pendekatan pembagian tugas yang harus dilakukan perawat ini terbukti efektif. Para peneliti melaporkan pasien yang menyelesaikan metode CBT-AD, lebih dari 2,5 kali lebih mungkin untuk mencapai viral load tidak terdeteksi, dibandingkan mereka yang menjalani perawatan biasa.