Supersemar Lemahkan Soekarno, Wibawa Pemimpin Besar Revolusi Meredup

By , Jumat, 11 Maret 2016 | 15:00 WIB

Di sisi lain, terlihat pula kegetiran seorang Presiden karena ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh kepadanya.

"Komando dan perintahnya tidak dimuat oleh surat kabar, ucapannya dipelintir. Bahkan dia pernah menerima pamflet yang menuduhnya sebagai dalang utama G30S. Soekarno marah dan sangat geram. Ia memaki dalam bahasa Belanda, bahasa yang dikuasainya sampai kosakata caci makinya," tulis Asvi.

(Baca: Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar)

Dalam buku versi pemerintah, masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi pendukung Orde Baru; tentara, mahasiswa dan rakyat, untuk membasmi PKI serta membersihkan orang-orang pendukung Soekarno.

Perlawanan dari kelompok  pendukung Soekarno bukannya tidak ada. Sebanyak 92 menteri menyatakan kesetiaannya pada 20 Januari 1966.

Pada 27 Februari 1966 diadakan juga Rapat Raksasa Kesetiaan kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno di Bandung.

Beberapa partai politik dan organisasi masyarakat pun tidak membenarkan aksi demonstrasi yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi.

Meski begitu, upaya menghancurkan barisan pendukung Soekarno terus dilakukan. Supersemar juga disebut menjadi "surat kuasa" yang ironisnya digunakan untuk menyusutkan kekuatan pendukung Soekarno.

Setelah mendapatkan Supersemar, Soeharto langsung membubarkan PKI dan menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, atas tuduhan terlibat G30S.

Memasuki tahun 1966-1967, Soekarno mulai tampak lelah dan putus asa. Bulan Mei 1966 dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional, ia tidak mau bicara.

Pada pelantikan Omar Senoadji sebagai Menteri Kehakiman, Juni 1966, ia hanya berpidato sangat singkat. Ketika kemudian ia berpidato lagi, suaranya sudah semakin lemah.

Namun, semangat "perlawanan" dari Soekarno kembali muncul di hari peringatan proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1966.

Dalam pidato yang berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah", Soekarno secara tidak langsung mengungkap bahwa Supersemar disalahtafsirkan untuk mengakhiri kekuasaannya.

"Tapi itu tidak ada artinya lagi. Itu hanya pidato kenegaraan 17 Agustus 1966. Dalam arti, Soekarno boleh bilang begitu, tapi Soeharto tetap memegang kuasa," tutur Asvi.

"Perlawanan" kembali dilakiukan Soekarno dalam pidato Nawaksara yang ditolak oleh MPRS tahun 1966. Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau membubarkan PKI.

Soekarno mengatakan kemelut yang terjadi diakibatkan dari pertemuan tiga aspek. Pertama, pimpinan PKI yang keblinger.

"Soekarno tetap mengatakan pimpinan yang keblinger, bukan PKI-nya. Merujuk ke biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman. Biro yang sifatnya tertutup, bertanggung jawab pada Aidit. Tujuannya melakukan pendekatan dan pengaruh di kalangan tentara," ujar Asvi.

Kedua, subversif Nekolim. Artinya, ada pihak-pihak asing yang diduga sudah masuk ke Indonesia, misalnya Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA). Ketiga, ada oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Entah ini maksudnya adalah Soeharto atau bukan. Hal itu tidak  dikatakan oleh Soekarno," tutur Asvi.