Bandanaira, Negeri Kaya Sejarah Beraroma Rempah

By , Kamis, 15 Desember 2016 | 15:05 WIB

Pendaratan mulus di Bandar Udara Bandanaira, Maluku memecahkan suasana hening selama hampir sejam berada di udara dari Ambon menuju Bandanaira. Sontak tepukan tangan bak konser opera dari beberapa penumpang membuyarkan lamunan saya. Penerbangan perintis ini menggunakan pesawat yang sudah cukup tua, dan tentu berbeda jauh dengan pesawat tipe Boeing yang berbadan lebar dan kelengkapan yang canggih. Jadi, wajar saja seluruh penumpang merasakan cemas, sehingga pendaratan mulus oleh Kapten Bambang menjadi prestasi yang layak mendapat aplausDengan sigap, Tursip sebagai pramugara membukakan pintu belakang pesawat Casa 212 yang terbang hanya empat kali seminggu, yaitu hari Jumat, Sabtu, Minggu dan Senin setiap pukul 07.00 pagi dari Ambon.

Aroma basah serta merta menyengat hidung saya, sepertinya Bandanaira baru saja diguyur hujan subuh tadi. Landasan masih ada sedikit genangan air, dan rumput-rumput taman tampak basah. Saat saya memandang ke atas, langit mulai menampakkan biru cerah, perlahan matahari mengintip di balik awan tebal.

“Cuaca memang sering tidak menentu di Bandanaira," ujar Turnip ketika saya mulai memotret pesawat perintis ini dengan tulisan “Bandanaira” disampingnya.

Perbincangan singkat saya berakhir setelah semua penumpang yang berjumlah 12 orang sudah habis meninggalkan landasan. Cuaca cepat berubah cerah dan cepat pula memburuk. Oleh karena itu penerbangan ke dan dari Bandanaira hanya berlangsung di pagi hari.

Bandanaira, berasal dari nama dua pulau, yaitu Pulau Banda dan Pulau Naira. Bandar udara berada di Pulau Naira, dan Pulau Banda ada di seberang Pulau naira yang bisa ditempuh dengan perahu bermotor selama lebih kurang 30 menit.

Tiba di bandara saya dan rekan dijemput oleh pihak penginapan. Kami menginap di Delfika Guest House, bangunan tua  bergaya eropa yang seakan membawa kita kembali ke abad-17. 

"Ini kunci kamarnya, kamar ujung,” begitu kata Bahri, sang pemilik penginapan, sambil mengantar kami menuju bagian dalam rumah tua. Kamar berukuran 5 x 5 meter persegi, dengan berpendingin ruangan ini dikenai tarif dua ratus ribu rupiah per malam dan sudah termasuk sarapan pagi.

Tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di dalam kamar, kami langsung berdiskusi di depan selembar peta wisata Bandanaira pemberian Bahri. Berkeliling Kota naira, ke pulau Banda dan snorkeling di Pulau Syahrir akan memenuhi agenda kami tiga hari ke depan.

Tidak ada yang jauh di pulau ini, setengah hari saja sudah hampir seluruh Pulau naira dijelajahi.  Namun mengingat masih banyak tempat yang ingin kami kunjungi, saya memutuskan menyewa sepeda motor agar memudahkan mobilitas kami. Untuk 5 jam pemakaian, sepeda motor disewa dengan harga Rp 60.000 atau sewa ojek Rp 45.000.

Rumah Budaya

Sebelum memulai berkeliling menjelajah pulau ini, ada baiknya mengunjungi dulu Rumah Budaya, karena di dalamnya begitu banyak benda sejarah dan kisah-kisah Bandanaira zaman dahulu. Tempat ini terletak tepat di depan Delfika Guest House. Di bagian Sayap kiri ada seperangkat meja tamu dilengkapi gramofon yang masih aktif. Pemandu sempat pula memutar piringan hitam yang terlihat masih terawat baik, alunan musik klasik zaman belanda mengalun samar mengiringi penjelajahan kami di ruang demi ruang. 

Masker menyelam, alat memasak, meriam, lonceng gereja, lonceng benteng, senapan, jam tua, topi perang, semua tertata rapi. Satu hal yang paling menarik adalah sebuah lukisan yang tergantung di ruang tengah, menggambarkan peristiwa yang terjadi pada tahun 1621 di dalam Benteng Nassau. Saat itu, terjadi pembunuhan 44 orang kaya Banda yang dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterzoon Coen.

Pembunuhan dilakukan tepat di depan anak istri beserta keluarganya secara sadis oleh 6 orang algojo samurai yang didatangkan langsung dari Jepang (samurainya masih bisa kita lihat di Rumah Budaya). Setelah mati, mayat 44 orang kaya ini diceburkan ke dalam sumur tua tidak jauh dari Benteng Nassau. Saat ini, sumur tersebut juga masih terawatbaik dan dikenal sebagai Perigi Rante (Sumur Berantai). Tak jauh dari sumur, dibangun monumen yang berisi nama-nama 44 orang yang dibunuh.