Bandanaira, Negeri Kaya Sejarah Beraroma Rempah

By , Kamis, 15 Desember 2016 | 15:05 WIB

Berjalan ke  arah samping dari istana mini, kita masih bisa menemukan patung Willem III di halaman, beliau adalah Raja Belanda tahun pemerintahan 1849-1890.

Gereja Tua, Mesjid Tua dan Klenteng Sun Tien Kong

Beruntungnya saya saat melintas depan gereja di hari Minggu, saat itu ramai para jemaat menghadiri misa, sehingga saya bisa melihat bagian dalam gereja tua ini beserta aktivitasnya. Sungguh indah dan unik, karena di lantainya banyak tulisan-tulisan berbahasa Belanda. Setelah meminta izin, saya diperbolehkan naik ke balkon di bagian belakang untuk mengambil suasana di dalamnya. Malam harinya saya juga merasakan sholat magrib di Masjid Al-Mukhlisin yang dikenal juga sebagai masjid Hatta-Syahrir. Setelah membeli oleh-oleh khas pulau Banda berupa selai pala, halua kenari dan buah kenari saya bertandang ke Klenteng Sun Tien Kong yang juga masih tampak terawat baik. Kehadiran berbagai rumah ibadah ini menandakan beraneka ragam etnis dan agama ada di sini.

Hari kedua Menuju Lonthoir

Lonthoir atau Lontor adalah nama desa di Pulau Banda besar, yang letaknya berseberangan dengan Pulau naira. Perahu merapat di dermaga, dan baru 100 m berjalan, saya sudah diharuskan menapaki anak tangga. Sesaat saya terbayang anak tangga di Makam Imogiri ataupun anak tangga menuju kawah Bromo, banyak dan cukup tinggi.

Pelan tapi pasti, sambil menghitung anak tangga yang sudah lebih dari 300 buah, akhirnya saya tiba di benteng Hollandia. Benteng yang menghadap ke pulau Naira ini dibangun pada tahun 1642. Awalnya benteng tersebut bernama Fort Lonthoir. Kemudian diubah oleh Pieter Vlak menjadi Fort Hollandia.  Benteng itu dibangun untuk mengendalikan lalu lintas laut yang melintas di selat antara naira dan Lonthoir, terutama untuk memonitor aktivitas perdagangan pala dan bunganya (fuli) di desa sepanjang pantai Pulau Lonthoir.

Benteng Hollandia ini tampak kurang terawat. Dua sisi dinding sudah tampak tak utuh. Pintu utamanya tampak tak kokoh lagi karena banyak batu terbuka sehingga terlihat berisiko roboh sewaktu-waktu.  Tanaman liar merambat di mana-mana hingga hampir menutupi pintu utama. Hujan deras mendadak turun, sehingga saya harus berteduh selama 15 menit  di gerbang benteng ini.

Cuaca berganti cerah kembali, dari  depan pintu kita dapat menyaksikan pemandangan perkampungan Lonthoir yang indah, Gunung Api dan  Selat Zonnegat, di kejauhan masih tampak Benteng Belgica yang terletak pada ketinggian Bukit Tabaleku di Pulau Naira.

Perjalanan dilanjutkan menuju kebun pala dan kenari. Buah pala bergelantungan di setiap pohonnya, siap untuk dipetik, hampir semua bagian buahnya bernilai ekonomi. Daging buah pala dapat diolah menjadi manisan atau direbus dengan gula menjadi sirup pala, bunganya digunakan sebagai bumbu masakan atau diekstrak sarinya menjadi bahan baku kosmetika dan parfum, dan bagian biji dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dapur. Adakalanya buah pala yang berdaging putih ini dimakan langsung seperti rujak, bagi yang tahan dengan rasa asam, buah pala ini menjadi kudapan yang nikmat, silakan dicoba.

Usai berkeliling di kebun pala, saya bertemu dengan dua orang anak Lonthoir. Sambil menjaga ternak mereka memunguti buah kenari yang banyak berjatuhan di kebun.  Kenari dijemur dan diambil bijinya. Kenari menjadi sumber daya alam paling terkenal di sini karena bisa diolah menjadi makanan ataupun minyak atsiri.

Rasa haus menyergap, namun bekal air sudah habis. “Kita minum air perigi saja” kata Pak Ali pemilik perahu motor yang kami sewa dari Naira. Terdapat perigi atau sumur dengan kedalaman sekitar 7 meter, dengan dua sumber mata air. Satu sumur wanita dan satu sumur pria, dan tidak boleh seorang pria mengambil sumur di bagian wanita, begitulah aturan yang berlaku.

Sumur ini dianggap sebagai sumur (perigi) keramat. Sumber air minum warga Lonthoir adalah dari sumur ini. Tanpa harus dimasak dahulu, air sudah siap diminum. Tak ragu lagi, saya pun turut meminum air perigi ini, dan membawanya dalam botol air. Setiap 10 tahun sekali diadakan upacara adat untuk mencuci perigi. Terakhir perigi dicuci pada tahun 1989.