Motif pembunuhan ini adalah agar Belanda mampu memonopoli perniagaan rempah-rempah diseluruh Kepulauan Banda, dan menakut-nakuti masyarakatnya agar tunduk kepada pemerintahan Belanda.
Benteng Belgica
Sebenarnya alasan inilah yang paling menguatkan niat saya mengunjungi Bandanaira, ketika melihat foto Benteng Belgica yang begitu indah di Internet, saya begitu kagum dengan bentuk dan arsitektur benteng ini.
“Ah, akhirnya impian saya terkabul!”
Sekarang benteng Belgica sudah di depan mata, dengan nafas sedikit terengah menaiki hampir seratus anak tangga menuju pintu benteng, bagai anak kecil yang tak sabar menuju arena bermain, itulah yang saya rasakan. Pintu pagar masih terkunci rupanya, karena setiap tamu tidak bisa dengan bebas datang dan masuk ke Benteng ini, ada petugas yang berjaga namun tidak selalu ada di benteng, sehingga harus membuat janji terlebih dahulu. Di bantu oleh penduduk akhirnya 30 menit kemudian petugas berhasil dipanggil, gelisah menunggu di depan pagar, sambil sesekali memotret pemandangan alam dari ketinggian. Gunung api nan anggun tampak hijau merona, langit biru menawan. Saya betul-betul seperti menemukan tempat bermain baru yang seru
Benteng Belgica yang tercatat sebagai salah satu “World Heritage” oleh UNESCO, dibangun tahun 1621 oleh Bangsa Portugis sebagai pusat pertahanan. Namun pada masa penjajahan Belanda, Benteng Belgica beralih fungsi untuk memantau lalu lintas kapal dagang yang kemudian berhasil dirampas oleh Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dunia. Terbayang betapa berharganya rempah-rempah di zaman itu. Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat Bandanaira, Bapak Des Alwi (kini sudah almarhum), uang seharga satu kilogram biji pala, bisa membangun satu buah rumah di Eropa. Siapa yang tak tergiur dengan kekayaan ini hingga VOC terus berjuang mempertahankan Bandanaira.
Memiliki bentuk lima persegi, ada dua lantai yang bisa kita lihat secara menyeluruh. Bagian bawah beberapa ruangan tahanan wanita dan pria dengan alat pasung dan juga alat pemenggal kepala, tempat tiang bendera juga dua buah sumur yang konon sebagai terowongan menuju benteng Nassau dan satu lagi menuju pelabuhan.
Di lantai dua kita bisa saksikan lima meriam berjajar, dengan logo VOC diatasnya serta ruangan terbuka dengan lima menara. Hati-hati memanjat menara benteng, karena selain anak tangganya sangat tegak dan hanya satu badan lebarnya, bagian ujungnya juga sangat sempit. Apabila Anda tidak terjepit di satu menara, cobalah menaiki empat menara lain lagi, karena tiap sudut benteng menawarkan keindahannya sendiri. Pemandangan Gunung api, hilir mudik perahu motor di sepanjang teluk Banda, atau reruntuhan Benteng Nassau, sangat jelas terlihat. Anda bisa sekaligus mengkhayal sebagai Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen, memlintir kumis berdiri gagah memandang lautan mengawasi kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dengan keanggunan Gunung Api.
Rumah pengasingan Bung Hatta, Bung Syahrir, Penjara dan Istana mini
Meninggalkan Benteng Belgica, saya berjalan ke selatan menuju Rumah pengasingan Bung Hatta, dan juga rumah pengasingan Bung Syahrir. Mereka diasingkan karena kekhawatiran Belanda terhadap kegigihan perjuangan politik mereka berdua, sehingga diasingkan oleh pihak Belanda ke Bandanaira dimulai sejak 1935 hingga 1942. Selama 8 tahun dua tokoh politik Nasional ini gigih mengajarkan pengetahuan politik dan bahasa kepada masyarakat setempat, sehingga di rumah ini masih bisa kita saksikan susunan kursi dan meja laiknya sebuah sekolah.
Bisa disaksikan juga bersebelahan dengan rumah pengasingan Bung Hatta, sebuah penjara bergaya kolonial Belanda. Saat berkunjung ke sini, saya sempat bertemu dengan kepala penjara dan berbincang sejenak, bahwa kejahatan di Bandanaira sangat minim, saat ini penjara hanya dihuni satu orang tahanan dan itu pun kiriman dari Kota Ambon.
Perjalanan dilanjutkan ke Istana Mini. Disebut demikian karena istana ini dibangun satu tahun lebih cepat dengan istana merdeka yang ada di Jakarta. Dilihat dari bentuk pilarnya memang sangat mirip, kemungkinan rancangan istana ini dijadikan contoh untuk pembangunan istana merdeka di Jakarta. Bangunan ini konon digunakan sebagai pusat kantor perdagangan rempah-rempah sekaligus kediaman Gubernur Jenderal Belanda, termasuk di antaranya Jan Pieterszoon Coen. Bangunan dengan halaman yang luas it dilengkapi dengan tiang bendera di depannya dan meriam di kanan kirinya. Apabila melihat sisi dalamnya, langit-langit, jendela dan lantai masih terawat dengan baik, walau terlihat kosong karena tak satupun terdapat benda di dalamnya. Sedangkan pemandangan di depannya adalah selat Zonnegat yang membelah Pulau Banda Besar dan Pulau Naira