Senja Kuning WITA
Bandar Udara Betoambari, begitu yang tertulis di atas papan nama begitu turun dari pesawat. Entah jam berapa tepatnya saat itu, tapi langit sudah menguning dan mulai gelap. Bandara Betoambari terletak di Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Tidak banyak yang saya tahu tentang tempat ini saat menginjakkan kaki di sini. Hal pertama yang saya ketahui tentang Buton hanya berawal dari percakapan di telepon, kira-kira seperti ini:
Ibunda: “Halo, kamu dimana?”
Saya: “Makassar, Ma. Mau ke Buton.”
Ibunda: “Hah? Buton? Yang penghasil aspal itu?”
Saya: “Hah? Emang menghasilkan aspal?”
Ibunda: “Bukannya kamu sudah lulus SD ya?”
Saya: “……”
Di sana, kami disambut oleh sopir yang akan mengantar kami bepergian selama di Buton. Dua hal yang mungkin harus Anda pastikan sebelum ke sini adalah Anda mendapat driver yang tangguh sekaligus bisa menjadi pemandu yang kompeten.
Sebut saja namanya, Budi. Budi adalah pemuda asli Buton. Budi mengajak kami menjelajah Kota Baubau dan sekitarnya. Ia tidak hanya membawa kami untuk melihat dengan mata seperti apa Kota Baubau tapi juga membawa kami ke masa lalu, sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton, dan filosofi yang mereka anut, bahkan mengakar hingga ke generasi muda kelahiran Buton.
Menyatu, Tidak Dari Asal Satu, Tapi Tidak Berantara
“Orang Buton itu banyak suku-sukunya,” kata Budi suatu kali. Ada semboyan masyarakat Buton yang sudah dikumandangkan sejak dulu, Poromu Yinda Saangu Pogaa Yinda Koolota. Begitu yang terselip di sambutan Bupati Buton di suatu acara budaya. Masih dalam sambutannya, semboyan ini berarti “menyatu tapi tidak dari asal yang satu, tetapi tidak berantara.” Kurang lebih, seperti makna Bhinneka Tunggal Ika.
“Puluhan, atau mungkin ratusan suku bangsa. Tapi sekarang yang paling besar ada empat. Empat besar ini bisa dilihat dari bahasa ibunya, yaitu Bahasa Wuna, Cia-Cia, Tolaki, dan Bahasa Wolio. Bahasa persatuannya sendiri untuk Buton, umumnya Bahasa Wolio,” jelas Budi.