Menjelajahi Buton, Pulau Penghasil Aspal di Tenggara Sulawesi

By , Rabu, 12 Juli 2017 | 17:00 WIB

Senja Kuning WITA

Bandar Udara Betoambari, begitu yang tertulis di atas papan nama begitu turun dari pesawat. Entah jam berapa tepatnya saat itu, tapi langit sudah menguning dan mulai gelap. Bandara Betoambari terletak di Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Tidak banyak yang saya tahu tentang tempat ini saat menginjakkan kaki di sini. Hal pertama yang saya ketahui tentang Buton hanya berawal dari percakapan di telepon, kira-kira seperti ini:

Ibunda: “Halo, kamu dimana?”

Saya: “Makassar, Ma. Mau ke Buton.”

Ibunda: “Hah? Buton? Yang penghasil aspal itu?”

Saya: “Hah? Emang menghasilkan aspal?”

Ibunda: “Bukannya kamu sudah lulus SD ya?”

Saya: “……”

Di sana, kami disambut oleh sopir yang akan mengantar kami bepergian selama di Buton. Dua hal yang mungkin harus Anda pastikan sebelum ke sini adalah Anda mendapat driver yang tangguh sekaligus bisa menjadi pemandu yang kompeten.

Sebut saja namanya, Budi. Budi adalah pemuda asli Buton. Budi mengajak kami menjelajah Kota Baubau dan sekitarnya. Ia tidak hanya membawa kami untuk melihat dengan mata seperti apa Kota Baubau tapi juga membawa kami ke masa lalu, sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton, dan filosofi yang mereka anut, bahkan mengakar hingga ke generasi muda kelahiran Buton.

Menyatu, Tidak Dari Asal Satu, Tapi Tidak Berantara

 “Orang Buton itu banyak suku-sukunya,” kata Budi suatu kali. Ada semboyan masyarakat Buton yang sudah dikumandangkan sejak dulu, Poromu Yinda Saangu Pogaa Yinda Koolota. Begitu yang terselip di sambutan Bupati Buton di suatu acara budaya. Masih dalam sambutannya, semboyan ini berarti “menyatu tapi tidak dari asal yang satu, tetapi tidak berantara.” Kurang lebih, seperti makna Bhinneka Tunggal Ika.

“Puluhan, atau mungkin ratusan suku bangsa. Tapi sekarang yang paling besar ada empat. Empat besar ini bisa dilihat dari bahasa ibunya, yaitu Bahasa Wuna, Cia-Cia, Tolaki, dan Bahasa Wolio. Bahasa persatuannya sendiri untuk Buton, umumnya Bahasa Wolio,” jelas Budi.

Kami melewati salah satu perkampungan di Baubau yang banyak dihuni oleh masyarakat dari suku Cia-Cia. Mereka memiliki bahasa sendiri yang sangat mirip dengan aksara Hangeul di Korea. Katanya, bahasa Cia-Cia ini hanya dapat dapat ditulis dengan aksara tersebut.

Keunikan yang asal-usulnya masih belum banyak diulas ini membuat banyak peneliti bahasa dari Korea berdatangan dan membuat kerjasama. Aksara hangeul pun masuk ke perkampungan ini, diajarkan sejak dari Sekolah Dasar. Sedangkan siswa SMA dapat mengikuti pertukaran pelajar ke Korea. Papan nama jalan pun menggunakan dua aksara, huruf latin dan huruf hangeul. Sedangkan Bahasa Wolio sendiri masih banyak yang ditulis dengan aksara Arab.

Ketika ikut menonton tarian kolosal Bentena Butuni yang dihadiri sekitar 2.000 penari usia sekolah sekepulauan Buton, dapat terlihat bagaimana ragamnya masyarakat Buton. Tipe wajah dan warna kulit mereka berbeda, padahal semuanya adalah masyarakat Buton. Sekarang, bisa dibayangkan, bahwa Pulau Buton, layaknya miniatur dari Indonesia.

Bersejarah dan Melekat

Perjalanan dilanjutkan melewati rumah-rumah panggung khas masyarakat Buton yang masih ada sampai sekarang. Melewati hutan dan seringkali terlihat kilauan dari air laut di sela-sela semak dan pepohonan. Kami tiba di Kota Pasarwajo, kota yang bersebelahan dengan Baubau. Di sini, didirikan tugu dengan hiasan aspal di atasnya. Tugu Aspal nilah yang menjadi monumen Pulau Buton sebagai penghasil aspal. Di perjalanan kembali ke Baubau, Budi tampak mengendarai mobil sambil sesekali menengok ke arah kanan, ke arah pepohonan yang membatasi jalan, hingga akhirnya ia berhenti.

Buton kerap disebut Negeri Seribu Benteng. Pasalnya, banyak benteng-benteng kecil tersebar di sini. Yang paling besar adalah Benteng Keraton Wolio. (Amalia Nanda Ihsana)

“Di sini, ada pohon yang corak batangnya berbeda. Seperti corak baju tentara. Kadang orang menyebutnya pohon tentara,” ujarnya. Kami memasuki sedikit ke dalam hutan dan ada empat batang pohon yang memiliki ‘corak tentara’ dengan kias warna cokelat terang. Di sana tertancap papan nama bertuliskan Leda (Eucalyptus deglupta), termasuk jenis pohon kayu putih yang langka.

Kembali meneruskan perjalanan, Budi berkata, “Buton itu juga dibilang Negeri Seribu Benteng. Banyak benteng-benteng kecil tersebar di sini. Yang paling besar adalah Benteng Keraton Wolio.”

Benteng Keraton Wolio bukanlah peninggalan asing, tapi dibangun sendiri oleh masyarakat Buton sejak zaman Kerajaan Buton. Buton sendiri terdengar pertamakali pada naskah Negara Kertagama karya Prapanca di tahun 1365.!break!

Pendiri Kerajaan Buton terdiri atas empat orang yang disebut Mia Patamiana, yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Kerajaan Buton terus berjaya pada abad 13-15, bahkan saat berubah menjadi Kesultanan Buton di tahun 1542. Benteng Keraton berdiri sepanjang 2,7 km, melindungi pemukiman yang diisi oleh kerabat-kerabat dekat dan bangsawan keluarga Kesultanan Buton. Bahkan hingga sekarang, para pewaris dan keturunan bangsawan Keraton Buton masih mendiami rumah-rumah di dalam kawasan benteng.

“Kita bisa melihat status sosialnya juga dari jumlah tingkat atap dari rumah-rumah panggung di sini,” jelas Budi. Di dalam benteng, ada Mesjid Agung yang juga telah berdiri sejak tahun 1538, lengkap dengan tiang benderanya.

Budi mengajak berkeliling sekitar benteng, di tiap lengkung benteng dan gerbang-gerbangnya, ada cerita tersendiri yang menarik dari Kesultanan Buton. Sejarah, mitos, hingga filosofi-filosofi masyarakat Buton yang menurun dan masih kental hingga sekarang.

Dari Mesjid Agung, kami bergegas menuju Pantai Nirwana, salah satu pantai terindah di Kota Baubau dengan pasir putihnya yang sangat lembut. Hanya berjarak 10 km dari pusat kota. Budi memacu mobil di jalan yang berkelok-kelok itu. Meski jalannya tidak ramai, kami tetap terlambat. Matahari sudah terbenam beberapa menit yang lalu.

Bermakna dan Berfilosofi

Kok kalau googling Baubau, keluar foto naga hijau? Ini dimana?” saya bertanya. “Itu ada di tempat yang kemarin di pinggiran pelabuhan, di Kamali,” jawab Budi.

Kota Baubau adalah lintas perairan dari barat ke timur, tepatnya Selat Buton. Pelabuhan utama, Pelabuhan Murhum, ada di Baubau. Sangat dekat dengan kawasan yang juga disebut Pantai Kamali. Ketika malam hari, tempat ini begitu ramai. Layaknya pasar malam, ada pedagang membuka lapak, menjual beragam produk, masyarakat sekitar berbelanja, sedangkan anak-anak bermain bersama. Dapat terlihat Kapal Pelni yang bersandar di pelabuhan.

Ada simbol Kota Baubau di sini yaitu patung tubuh bagian atas Naga berwarna hijau. Tingginya sekitar 5 meter, menghadap ke arah laut lepas.

Patung tubuh bagian atas naga berwarna hijau menjadi tengara Kota Baubau. Tingginya sekitar lima meter, menghadap ke arah laut lepas. Patung bagian ekornya terpisah agak jauh. (Amalia Nanda Ihsana)

“Kenapa naga?”

“Katanya, itu simbol dari Cina yang pernah bermukim di sini.” Konon, salah seorang laksamana dari Mongol yang kalah berperang di kawasan Jawa, melarikan diri ke Pulau Buton.

“Kenapa naganya cuma separuh badan?” tanya saya lagi, mungkin yang jawab sudah dari tadi menahan diri melempar sandal karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

“Nanti, kita bisa lihat ekor naganya.”

Dan ekor naga, terletak cukup jauh dari kepalanya. Jika kepala naga berada di daerah pantai, ekornya berada di perbukitan. Tepatnya, di depan Kantor Walikota Baubau, Kawasan Palagimata. Di trotoar cukup lebar berhiaskan pepohonan, ekor naga menjulang tinggi.

“Kenapa dipisah?” tanya saya lagi, dan untungnya ia masih bersedia menjawab pertanyaan saya. “Ceritanya, badan naga tertimbun dalam tanah.”

Menyusuri jalan setapak tersebut, ada sebuah batu besar dengan plakat bertuliskan filosofi dan makna monumen di kawasan itu. Palagimata adalah simbol ketokohan atau pemimpin.  Tugu Ekor Naga yang terletak di depan kantor walikota, melambangkan makna bahwa sekuat apapun kekuasaan pasti akan berakhir atau berujung. Saya tertegun, beginilah Buton. Selalu ada makna dalam dari setiap apa yang mereka lakukan, ciptakan, dan apa yang mereka ucapkan.

Teringat percakapan di perjalanan yang dimulai lagi-lagi karena suatu pertanyaan, “Kenapa ada tugu bentuk buah nanas tadi gede banget? Kenapa tadi sampai dijadikan lampu taman juga?”

“Nanas itu simbol dari karakter orang Wolio. Orang Buton. Dari luar berduri-duri, kan? Tapi dalamnya manis. Kita juga muka keras tapi hatinya lembut,” jelas Budi.

Apa yang ia jelaskan juga tertulis di batu peresmian berplakat tersebut. Simbolisasi karakter orang Wolio dari buah nanas, ‘Tumbuh dimana saja yang bermakna mampu beradaptasi dimanapun berdomisili. Berbuah hanya satu bermakna keesaan Tuhan. Kulit berduri isi manis, meskipun penampilan fisik keras tapi berhati lembut. Mahkota bermakna selalu menjaga harga diri. Mata dan perisai bermakna selalu waspada dan mampu melindungi diri.’