Menjelajahi Buton, Pulau Penghasil Aspal di Tenggara Sulawesi

By , Rabu, 12 Juli 2017 | 17:00 WIB

Kami melewati salah satu perkampungan di Baubau yang banyak dihuni oleh masyarakat dari suku Cia-Cia. Mereka memiliki bahasa sendiri yang sangat mirip dengan aksara Hangeul di Korea. Katanya, bahasa Cia-Cia ini hanya dapat dapat ditulis dengan aksara tersebut.

Keunikan yang asal-usulnya masih belum banyak diulas ini membuat banyak peneliti bahasa dari Korea berdatangan dan membuat kerjasama. Aksara hangeul pun masuk ke perkampungan ini, diajarkan sejak dari Sekolah Dasar. Sedangkan siswa SMA dapat mengikuti pertukaran pelajar ke Korea. Papan nama jalan pun menggunakan dua aksara, huruf latin dan huruf hangeul. Sedangkan Bahasa Wolio sendiri masih banyak yang ditulis dengan aksara Arab.

Ketika ikut menonton tarian kolosal Bentena Butuni yang dihadiri sekitar 2.000 penari usia sekolah sekepulauan Buton, dapat terlihat bagaimana ragamnya masyarakat Buton. Tipe wajah dan warna kulit mereka berbeda, padahal semuanya adalah masyarakat Buton. Sekarang, bisa dibayangkan, bahwa Pulau Buton, layaknya miniatur dari Indonesia.

Bersejarah dan Melekat

Perjalanan dilanjutkan melewati rumah-rumah panggung khas masyarakat Buton yang masih ada sampai sekarang. Melewati hutan dan seringkali terlihat kilauan dari air laut di sela-sela semak dan pepohonan. Kami tiba di Kota Pasarwajo, kota yang bersebelahan dengan Baubau. Di sini, didirikan tugu dengan hiasan aspal di atasnya. Tugu Aspal nilah yang menjadi monumen Pulau Buton sebagai penghasil aspal. Di perjalanan kembali ke Baubau, Budi tampak mengendarai mobil sambil sesekali menengok ke arah kanan, ke arah pepohonan yang membatasi jalan, hingga akhirnya ia berhenti.

Buton kerap disebut Negeri Seribu Benteng. Pasalnya, banyak benteng-benteng kecil tersebar di sini. Yang paling besar adalah Benteng Keraton Wolio. (Amalia Nanda Ihsana)

“Di sini, ada pohon yang corak batangnya berbeda. Seperti corak baju tentara. Kadang orang menyebutnya pohon tentara,” ujarnya. Kami memasuki sedikit ke dalam hutan dan ada empat batang pohon yang memiliki ‘corak tentara’ dengan kias warna cokelat terang. Di sana tertancap papan nama bertuliskan Leda (Eucalyptus deglupta), termasuk jenis pohon kayu putih yang langka.

Kembali meneruskan perjalanan, Budi berkata, “Buton itu juga dibilang Negeri Seribu Benteng. Banyak benteng-benteng kecil tersebar di sini. Yang paling besar adalah Benteng Keraton Wolio.”

Benteng Keraton Wolio bukanlah peninggalan asing, tapi dibangun sendiri oleh masyarakat Buton sejak zaman Kerajaan Buton. Buton sendiri terdengar pertamakali pada naskah Negara Kertagama karya Prapanca di tahun 1365.!break!

Pendiri Kerajaan Buton terdiri atas empat orang yang disebut Mia Patamiana, yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Kerajaan Buton terus berjaya pada abad 13-15, bahkan saat berubah menjadi Kesultanan Buton di tahun 1542. Benteng Keraton berdiri sepanjang 2,7 km, melindungi pemukiman yang diisi oleh kerabat-kerabat dekat dan bangsawan keluarga Kesultanan Buton. Bahkan hingga sekarang, para pewaris dan keturunan bangsawan Keraton Buton masih mendiami rumah-rumah di dalam kawasan benteng.

“Kita bisa melihat status sosialnya juga dari jumlah tingkat atap dari rumah-rumah panggung di sini,” jelas Budi. Di dalam benteng, ada Mesjid Agung yang juga telah berdiri sejak tahun 1538, lengkap dengan tiang benderanya.

Budi mengajak berkeliling sekitar benteng, di tiap lengkung benteng dan gerbang-gerbangnya, ada cerita tersendiri yang menarik dari Kesultanan Buton. Sejarah, mitos, hingga filosofi-filosofi masyarakat Buton yang menurun dan masih kental hingga sekarang.

Dari Mesjid Agung, kami bergegas menuju Pantai Nirwana, salah satu pantai terindah di Kota Baubau dengan pasir putihnya yang sangat lembut. Hanya berjarak 10 km dari pusat kota. Budi memacu mobil di jalan yang berkelok-kelok itu. Meski jalannya tidak ramai, kami tetap terlambat. Matahari sudah terbenam beberapa menit yang lalu.