Menjelajahi Buton, Pulau Penghasil Aspal di Tenggara Sulawesi

By , Rabu, 12 Juli 2017 | 17:00 WIB

Bermakna dan Berfilosofi

Kok kalau googling Baubau, keluar foto naga hijau? Ini dimana?” saya bertanya. “Itu ada di tempat yang kemarin di pinggiran pelabuhan, di Kamali,” jawab Budi.

Kota Baubau adalah lintas perairan dari barat ke timur, tepatnya Selat Buton. Pelabuhan utama, Pelabuhan Murhum, ada di Baubau. Sangat dekat dengan kawasan yang juga disebut Pantai Kamali. Ketika malam hari, tempat ini begitu ramai. Layaknya pasar malam, ada pedagang membuka lapak, menjual beragam produk, masyarakat sekitar berbelanja, sedangkan anak-anak bermain bersama. Dapat terlihat Kapal Pelni yang bersandar di pelabuhan.

Ada simbol Kota Baubau di sini yaitu patung tubuh bagian atas Naga berwarna hijau. Tingginya sekitar 5 meter, menghadap ke arah laut lepas.

Patung tubuh bagian atas naga berwarna hijau menjadi tengara Kota Baubau. Tingginya sekitar lima meter, menghadap ke arah laut lepas. Patung bagian ekornya terpisah agak jauh. (Amalia Nanda Ihsana)

“Kenapa naga?”

“Katanya, itu simbol dari Cina yang pernah bermukim di sini.” Konon, salah seorang laksamana dari Mongol yang kalah berperang di kawasan Jawa, melarikan diri ke Pulau Buton.

“Kenapa naganya cuma separuh badan?” tanya saya lagi, mungkin yang jawab sudah dari tadi menahan diri melempar sandal karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

“Nanti, kita bisa lihat ekor naganya.”

Dan ekor naga, terletak cukup jauh dari kepalanya. Jika kepala naga berada di daerah pantai, ekornya berada di perbukitan. Tepatnya, di depan Kantor Walikota Baubau, Kawasan Palagimata. Di trotoar cukup lebar berhiaskan pepohonan, ekor naga menjulang tinggi.

“Kenapa dipisah?” tanya saya lagi, dan untungnya ia masih bersedia menjawab pertanyaan saya. “Ceritanya, badan naga tertimbun dalam tanah.”

Menyusuri jalan setapak tersebut, ada sebuah batu besar dengan plakat bertuliskan filosofi dan makna monumen di kawasan itu. Palagimata adalah simbol ketokohan atau pemimpin.  Tugu Ekor Naga yang terletak di depan kantor walikota, melambangkan makna bahwa sekuat apapun kekuasaan pasti akan berakhir atau berujung. Saya tertegun, beginilah Buton. Selalu ada makna dalam dari setiap apa yang mereka lakukan, ciptakan, dan apa yang mereka ucapkan.

Teringat percakapan di perjalanan yang dimulai lagi-lagi karena suatu pertanyaan, “Kenapa ada tugu bentuk buah nanas tadi gede banget? Kenapa tadi sampai dijadikan lampu taman juga?”

“Nanas itu simbol dari karakter orang Wolio. Orang Buton. Dari luar berduri-duri, kan? Tapi dalamnya manis. Kita juga muka keras tapi hatinya lembut,” jelas Budi.

Apa yang ia jelaskan juga tertulis di batu peresmian berplakat tersebut. Simbolisasi karakter orang Wolio dari buah nanas, ‘Tumbuh dimana saja yang bermakna mampu beradaptasi dimanapun berdomisili. Berbuah hanya satu bermakna keesaan Tuhan. Kulit berduri isi manis, meskipun penampilan fisik keras tapi berhati lembut. Mahkota bermakna selalu menjaga harga diri. Mata dan perisai bermakna selalu waspada dan mampu melindungi diri.’