Kapal motor yang saya tumpangi bersiap merapat di dermaga kayu Pulau Tinabo. Perairan tenang, nyaris tak ada ombak yang membuat saya mabuk laut. Saya mengamati sekitar, panorama yang memanjakan panca indera terbentang luas. Mentari tropis bersinar terik, membuat penumpang kapal yang saya tumpangi berhamburan untuk segera mencari tempat berteduh.
Dermaga kayu salah satu nusa andalan dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate ini memang sudah menjadi ikon dalam sejumlah materi promosi wisata. Entah itu berbentuk konten digital ataupun materi berupa media cetak, dermaga Tinabo kerap mengisi materi tadi.
Begitu turun dari kapal, saya langsung melihat deretan bangunan yang atapnya berselimutkan penutup berwarna merah terang. Sedari jauh, deretan bangunan itu sudah menarik perhatian.
Kiri-kanan dermaga kayu terhampar perairan dangkal nan jernih, yang berlantaikan pasir putih dan sekumpulan terumbu karang. Air yang memancarkan warna gradasi hijau itu membuat tetamu ingin segera menjamahnya. Terlebih lagi, pantai berpasir selembut tepung itu kerap menjadi tempat bermain sekawanan anak hiu sirip hitam. Pengunjung pulau pun bisa menyapa mereka dengan ramah sembari menikmati air laut nan hangat.
“Bermain dengan baby shark ini jadi salah satu andalan wisata di sini. Kami memang arahkan mereka (wisatawan) untuk bisa menikmati laut dan biotanya,” ujar Jusman saat menemani saya dan Ekho Ardiyanto yang menjadi tenaga visual lepas untuk beberapa stasiun televisi berjalan menuju hamparan pasir putih di sebelah timur pulau. Di sekeliling kami, ada sejumlah kelompok wisatawan yang menikmati keindahan alam tropis nan khas ini.
Saya betul-betul menikmati suasana liburan di tengah pekerjaan. Di garis horison sebelah barat, mentari semakin rebah. Di atas kami, angkasa membiru dan berbataskan air yang tampak beriak tenang dengan warna yang lebih gelap dari langit. Sesekali langit ditingkahi oleh awan putih yang menggumpal.
Saya kembali mendengarkan penjelasan Jusman. Kepala Balai Taman Nasional Taka Bonerate ini juga menekankan wisata terus dikembangkan oleh pihaknya berbasiskan masyarakat dan lingkungan. “Tinabo jadi pusat kegiatan wisata (taman nasional).”
Jusman lalu menunjukkan kepada kami betapa sepenggal nusa itu di antara manikam katulistiwa bagaikan taman yang langsung dikirimkan dari surga. “Pasir putih ini selalu berpindah sesuai musimnya. Kalau musim teduh (timur), dia ada di sini, tapi nanti kalau masuk angin barat pindah lagi,” kata bapak yang sudah bertugas selama empat tahun di taman nasional sembari menginjak pasir putih nan lembut. “Nah, kami ingin mengembangkan Tinabo supaya orang bisa menikmati beragam atraksi wisata bahari, tidak hanya menyelam. Karena itu, kami buatkan rencana pengelolaan wisata pulau ini.”
Geliat pembangunan infrastuktur wisata pulau memang kentara. Sebelum berjalan bersama Jusman dan Ekho, saya menelisik bagian dalam pulau sepanjang 1,5 kilometer dan lebar 500 meter ini. Sejumlah pekerja tengah mengerjakan bangunan bertingkat yang rencananya menjadi tempat menginap wisatawan. Saat ini, kamar-kamar yang menghadap ke pesisir kerap tak cukup menampung tetamu yang datang pada musim liburan.
Sekalipun begitu, Jusman menggarisbawahi bahwa Tinabo tidak menyasar pada kegiatan wisata massal. Kalaupun ada acara wisata yang melibatkan pengunjung dalam jumlah besar, pihak balai mengarahkan agar wisatawan memanfaatkan rumah-rumah penduduk di Rajuni. Pulau yang berada di sebelah barat Tinabo itu bisa dicapai dengan perjalanan laut selama 30 menit. Dengan begitu, ekonomi wisata pun berputar, masyarakat juga terdidik untuk menjadi tuan rumah yang baik.
“Kami juga mengadakan berbagai pelatihan (terkait wisata). Penduduk desa kita latih sebagai guide buat menyelam,” cerita Jusman yang pernah bertugas sebagai Kepala Balai Taman Nasional Siberut di wilayah Sumatra Barat. Tinabo terus berbenah. Saya melihat pulau ini punya potensi, sekalipun membutuhkan konsep pembangunan ekowisata yang kuat dan disiplin serta melibatkan masyarakat sekitar taman nasional.