Saat sore menjelang, lelaki yang suka bermain gitar dan menyanyi itu menerbangkan drone yang ia bawa dari Makassar. Panorama pulau karang di antara gradasi warna biru yang ditingkahi pepohonan dan semak belukar tampak serasi buat dokumentasi dari udara. Sanovra tak hanya memotret aerial, tetapi ia juga mendokumentasikan video. Sembari menikmati rendaman air laut hingga batas lutut, Sanovra mengambil gambar aktivitas kapal dan wisatawan yang snorkeling di dekat dermaga.
Ekho yang menemani saya berjalan di tepian juga sudah siap meluncur ke perairan. Ia berjalan bareng M. Husain Suardy, yang ikut mengambil gambar untuk stasiun televisi nasional. Mereka sudah menenteng action cam, untuk mendokumentasikan aktivitas bahari di sore nan cerah itu.
Bermain dengan biota laut di perairan dangkal menjadi dambaan siapa saja. Tak terkecuali, Ria Natasia. Finalis Putri Selam Indonesia 2017 ini datang dari Bandung, Jawa Barat untuk memenuhi ajakan Asri, staf taman nasional yang bertugas sebagai pengendali ekosistem hutan.
Cewek berkacamata itu masih duduk di bangku kuliah Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Padjajaran. Rupanya, dia sempat magang di taman nasional selama satu bulan. Itu sebabnya, Ria begitu akrab dengan sejumlah staf dan masyarakat yang terlibat dalam Kemah Konservasi. Kedatangannya kali ini bak reuni besar.
Selama magang, kulit putihnya terbakar terik mentari. Tapi, ia tak peduli. Selama bisa menikmati main air laut, Ria merasa puas. Apalagi, ia bisa mengambil foto indah, yang kemudian menjadi pengisi lini masa akun Instagram miliknya. Sudah pasti, rekan sejawatnya bakal melontarkan pujian dan tak jarang menerbitkan rasa iri.
Saya menolak halus ajakan mereka. Air laut nan jernih sedari tadi pun gagal merayu saya. Maklum, saya bukan penyuka penjelajahan bawah laut. Buat menikmati keindahannya cukup melalui tayangan visual saja, begitu pikir saya.
Tak punya keinginan bermain air bukan berarti gagal menikmati rezeki Yang Maha Kuasa atas karunia alam ini. Saya mengajak Arfan Hamka untuk berkeliling Tinabo. Pemuda 23 tahun ini tak keberatan menerima tawaran. Katanya, agenda berenang bisa dilakukan kemudian. Tak perlu terburu-buru, begitu dia bilang.
Arfan kerap disapa Samson. Tubuhnya gempal dengan tinggi semampai. Barangkali dengan perawakan seperti itu, Arfan dapat julukan Samson dari karibnya. Meski begitu, dia berjalan dengan lincah di tepian berpasir putih. Jalan di atas hamparan pasir seperti tepung ini bukan perkara gampang. Langkah teras berat lantaran saat menapak telapak kaki terbenam di dalamnya.
Berjalan ke arah barat laut, kami mulai meninggalkan resor tepi pantai Tinabo. Kami menikmati siang yang telah bergeser ke sore. Awalnya, melintasi pepohonan cemara laut dan semak belukar hingga menjumpai sumur tadah hujan. Samson mencicipi airnya. “Hah, airnya sudah lama. Ndak enak.”
Setiap kali menjumpai tanaman tepi pantai, Samson selalu hapal dengan nama latinnya. Begitu pula dengan nama ikan karang yang menjadi topik oborolan kami sepanjang penjelajahan kecil itu. Kadangkala, langkah kami terhenti saat menjumpai tumpukan sampah yang terseret oleh arus laut. “Seharusnya kita bisa mengolah sampah plastik ini menjadi jembatan ya,” usulnya.
Ide Samson tadi masuk akal. Sampah plastik yang melayang-layang di lautan hingga mengotori pasir putih menjadi pembicaraan seantero jagat. Bukan hanya peneliti, tetapi juga komunitas peduli lingkungan. Kalau kita kumpulkan, sampah plastik dan lainnya bisa membentuk pulau buatan.
Beberapa waktu lalu, sempat terbetik kabar, pemerintah kita telah siap menganggarkan Rp 13,4 triliun untuk mengatasi masalah sampah di laut. Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno menyatakan, dana itu akan digunakan untuk melaksanakan rencana aksi nasional penanganan sampah, terutama sampah plastik yang ada di perairan laut Indonesia.