Komunitas Korea Utara di Jepang, Jejak Nyata Perang Dunia II dan Korea

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 16 Januari 2022 | 08:00 WIB
Para perempuan berasal dari Jepang ini adalah keturunan Korea. Mereka berfoto ketika mengunjungi Korea Utara dan menemui Eric Lafforgue. Menurut keterangan mereka, ada banyak penduduk Korea di Jepang. (Eric lafforgue/Flickr)

Nationalgeographic.co.id - Selama pendudukan Jepang di semenanjung di timur Asia itu, banyak orang Korea yang pergi ke Jepang karena regulasi, penambahan tenaga kerja Perang Dunia II, "wanita penghibur", dan migrasi karena pembantaian seperti yang terjadi di Jeju tahun 1948.

Data dari Kementerian Kehakiman Jepang, penduduk Korea yang datang ke Jepang dicatat sejak 1910. Dua dekade berikutnya, penduduk Korea di Jepang tembus sampai 300.000 orang. Jumlah penduduk melonjak pada dekade 1940-an ketika Perang Dunia II pecah di Asia-Pasifik.

Artinya, sudah banyak orang Korea, yang tinggal di Jepang jauh sebelum kemerdekaan dua Korea tahun 1945 (Korea Selatan) dan 1948 (Korea Utara).

Pada 2016, diketahui 453.000 penduduk Korea utara yang masih berdomisili di Jepang dan angkanya terus menurun sejak 1990-an.

Baca Juga: Kenapa Banyak Sekali Orang Korea Selatan yang Punya Nama Kim?

Walau jauh dari tanah air, dan anak-anaknya yang lahir di Jepang tanpa pernah menginjakan kaki di Korea, mereka bisa hidup dengan beberapa fasiltas yang diberikan pemerintah Korea Utara.

Di SMP dan SMA Korea Utara Tokyo inilah anak-anak dan para cucu orang Korea Utara di Jepang memahami negeri asalnya termasuk presiden-presiden mereka dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-un.

Shin Gil-ung, kepala sekolah berpendapat sekolah ini sangat penting bagi orang Korea di Jepang. 

"Para siswa ini mempelajari semua yang mereka pelajari di sekolah Jepang biasa. Tidak ada perbedaan kualitas pendidikan. Bedanya di sini mereka juga belajar sejarah bangsa kita," ujarnya di Al Jazeera tahun 2019.

Para siswi di Tokyo Korean Junior and Senior High School. Sekolah ini adalah cara mereka mempertahankan kebudayaan dan bahasa Korea di Jepang, walau secara politik mereka terpisahkan karena identitas mereka yang terafiliasi dengan Korea Utara. (Steven Borowiec/Al Jazeera)

"Masalah terbesar adalah diskriminasi dan represi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pemerintah tidak akan mendukung kami [sekolah Joseon] karena hubungan kami dengan Korea Utara. Jika mereka memberi kami dana, publik Jepang akan menentangnya."

"Hidup di tengah masyarakat Jepang, kami tidak memiliki banyak kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Korea atau merasa bahwa kami adalah orang Korea. Di sini, kita bisa menjadi diri kita sendiri," kata Park Sang-joo, siswa kelas dua di SMA Korea Utara Tokyo.

Jika mereka sudah ada sejak masa pendudukan Jepang di Korea jauh sebelum kemerdekaan yang terpisah, bagaimana bisa penduduk ini dinyatakan sebagai orang Korea Utara secara politis?

Mengutip dari Vox, ketika Jepang kalah di Perang Dunia II Korea dibagi menjadi dua bagian, utara yang dikuasai Uni Soviet dan Selatan oleh Amerika Serikat. Banyak warga Korea yang pulang saat itu, kecuali 600.000 orang.

Baca Juga: Peneliti Temukan Asal-Usul Tunggal Bahasa Jepang, Korea, dan Turki

Namun, ketika Perang Korea terjadi tahun 1950-an dan membagi Korea dalam dua negara secara jelas, mereka yang berada di Jepang harus memutuskan negara mereka yang dipilih. Banyak yang memilih untuk jadi bagian Korea Selatan, tetapi Korea Utara sangat memperhatikan mereka dengan mengirimkan uang, membangunkan sekolah, dan bisnis.

Pada 1952, Kim Il-sung membuat gerakan sosialis Zainichi, dan penduduk Korea di Jepang mengikutinya. Gerakan ini bukanlah untuk revolusi sosialis di Jepang, melainkan bertujuan untuk menyatukan semenanjung Korea di bawah sosialisme.

Kenki Aoyama, mantan mata-mata Korea Utara yang lahir dari orang tua Korea di Jepang yang nama aslinya tidak diungkapkan, menceritakan sejarah komunitasnya di BBC. Pada 1950-an itu, gerakan sosialis Korea mengajak penduduk di Jepang untuk pindah ke Korea Utara.

Dijanjikan, Korea Utara adalah surga di bumi, dan ia tertarik ke sana pada usia 21 tahun pada 1960. Setibanya di sana, ia kecewa karena negeri itu belum pulih dari Perang Korea dan sangat miskin.

Kapal yang membawa repatriat ini berangkat dari Jepang ke Korea, menandakan betapa rindunya masyarakat Korea kepada tanah air mereka yang telah lama dirundung perang. (Photograph Gazette/Pemerintah Jepang)

"Tidak butuh waktu lama bagi realitas Korea Utara untuk meresap. Itu bukan surga, itu neraka," katanya pada BBC tahun 2003. Aoyama tidak sendiri, diperkirakan ada 10.000 orang Korea di Jepang yang menghilang dengan cara ini, dan kebanyakan mereka menghilang di "surganya" ketika mendengar siaran di luar negeri di radio.

Aoyama kemudian kembali ke Jepang lewat berbagai halang rintang. Dia beruntung terbebas dari upaya pembersihan berturut-turut pada 1960-an, dan kelaparan besar di Korea Utara pada 1990-an. Dia berhasil melarikan diri dari rezim Pyongyang setelah menjadi mata-mata pada 1998 lewat bantuan Kementerian Luar Negeri Jepang di Beijing.

Diskriminasi menolak penduduk Korea Utara

Johnny Harris, koresponden Vox mengungkap pengalamannya mengunjungi komunitas Korea Utara di Jepang. Menurut penelusurannnya, orang-orang Korea di Jepang masih bertahan berkat bantuan kebijakan Kim Il-sung, lewat organisasi Chongryon.

Awalnya, beberapa usaha milik orang Korea di Jepang menghidupi mereka, terutama perjudian. Sebagian dari uang yang dihasilkan harus dibagikan untuk mendukung pemerintahan Korea Utara.

"Tapi ada sesuatu yang menjadi akhir kekuasaan usaha orang Korea di Jepang," ungkap Harris.

"Pada 70-an, Korea utara mulai mengirimkan mata-mata dalam penyamaran sebagai penangkap ikan ke perairan Jepang, dan mulai menculik orang Jepang, dan membawanya ke Korea utara sehingga bisa mempelajari bahasa dan budaya Jepang agar bisa melatih mata-matanya."

Baca Juga: Kisah Cinta Terpendam 1.500 Tahun Pangeran Persia dan Putri Korea

Di saat yang sama Korea Utara mengembangkan program misil jarak jauh yang dapat digunakan untuk nuklir. Ketika kedua fakta ini terungkap pada 2003 oleh pernyataan resmi pemerintah Korea Utara, orang Jepang beraksi menolak adanya orang Korea Utara di Jepang dengan kekerasan dan ujaran kebencian.

"Pemerintah Jepang meminta Chongryon membayar hutang-hutang mereka. Ketika organisasi itu tidak bisa membayar, mereka dipaksa untuk bangkrut," lanjut Harris.

Banyak dari bangunan termasuk kanto-kantor besar disita, dan hanya menyisakan tiga sekolah yang jadi incaran anti-Korea Utara.

Melansir Al Jazeera, sebagian besar masyarakat Korea Utara mengeluh karena tidak mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan arus utama Jepang, bahkan tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Jepang bila ingin pindah.

Ruang kelas di Tokyo Korean High School dengan foto Kim Il-sung dan Kim Jong-il pada 2010. (Wkimedia Commons)

Beberapa orang tua tidak bisa membiayai anaknya di sekolah Korea Utara sendiri karena harganya mahal, dan mulai menyekolahkannya di sekolah Jepang ketika pemerintahan Jepang menggratiskan biaya sekolah pada 2010. Beberapa sekolah Korea Utara mengajukan penggratisan agar dapat melestarikan pendidikan tetapi ditolak. Mereka pun protes.

2018, merkea mendapatkan penggratisan sekolah oleh pemerintah Jepang, setelah pengadilan Tokyo mempertimbangkan kurikulum Chongryon dan menganggap mereka bahaya bila tidak diladeni.

Namun, ancaman dari nasionalis Jepang tetap tidak terhindarkan saat Jepang memperpanjang sanksinya terhadap Korea Utara sampai 2020. Alasannya, mereka belum yakin langkah-langkah kesepatakan Korea Utara untuk denuklirisasi dapat dipercaya.

"Penculikan Korea Utara terhadap warga negara Jepang, dan program rudal, serta nuklir Korea Utara telah menjadikan sekolah-sekolah ini menjadi target organisasi sayap kanan Jepang yang mengeklaim bahwa sekolah tersebut adalah kedok program mata-mata Korea Utara," kata Markus Bell, dosen di Korean and Japanese studies at The University of Sheffield.

"Orang Jepang biasa apatis atau benci harus membayar pajak untuk menjaga sekolah-sekolah ini tetap buka. Dalam mencabut subsidi, prefektur mengikuti jejak Abe (Perdana Menteri Jepang periode 2012-2020) dalam mengambil garis keras terhadap Korea Utara dan kepentingannya di Jepang."

Sentimen terhadap Korea Utara membuat komunitas mereka di Jepang semakin menguat untuk mempertahankan identitasnya.

Baca Juga: Krisis Suksesi Monarki Kuno Jepang: Tidak Ada Ahli Waris Laki-lakinya